Lihat ke Halaman Asli

Good Local Governance, Sebuah Harapan

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi barang lumrah, calon kepala daerah berkunjung ke gampong-gampong, mendengar keluhan rakyat dan mengucapkan terima kasih atas masukan mereka. Kegiatan-kegiatan seperti itu terus terjadi berulang-ulang setiap jelang pemilihan kepala daerah. Tetapi setelah itu bagai angin lalu, para pejabat yang terpilih kemudian berperilaku seolah-olah pertemuan semacam itu tidak pernah terjadi.

Hampir tidak ada pejabat yang memiliki kesadaran untuk melaksanakan pemerintahan yang bertanggung jawab, apalagi berkapasitas dan efisien. Baik di eksekutif maupun legislatif (Persepsi penulis di tingkat lokal Aceh). Krisis kapasitas dan krisis moral menjadi ciri utama.

Good local governance yang hangat pada awal-awal terbentuknya Pemerintahan Aceh ternyata masih bersifat mitos dan tidak terimplementasi di dunia nyata. Bagai sebuah lorong gelap, tidak ada cahaya yang dapat mencapai kolong birokrasi, tidak ada prioritas dari perumus kebijakan dan pengambil keputusan yang benar-benar akuntabel dalam orkestra politik yang dimainkan.

Pertanyaan mendasar: “Dimanakan akuntabilitas pemerintahan daerah?” Dimanakah masukan rakyat gampong itu diletakkan? Apakah akuntabilitas tidak lagi diartikan sebagai tanggung gugat dan tanggung jawab? Bukankah akuntabilitas menawarkan adanya instrument seperti transparan, akses dan informasi, peran serta pemangku kepentingan, responsif terhadap pertanyaan publik serta bertanggung jawab?

Praktek memburu keuntungan selama masa jabatan lima tahun sepertinya masih kental dikalangan pejabat publik. Memaksa pajak dari rakyat, memberi izin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam kepada pemodal dan kebocoran anggaran proyek pembangunan masih saja berlanjut tanpa dapat dihentikan.

Ulah kenakalan negara lewat persekongkolan pejabat di institusi formal dengan pengusaha tambang terbuka dan konsesi hutan telah merugikan rakyat, terutama rakyat di gampong atas salah urus sumber daya alam, yang berdampak pada resiko hancurnya sumber penghidupan mereka (Lihat: Korban Banjir).

Harapan di masa depan

Perihal esensial yang meliputi daya tanggap, tanggung jawab dari keputusan yang dibuat beserta akibat yang ditimbulkan, proses-proses pengambilan keputusan yang terbuka dan partisipasi sosial dari berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan di masa depan.

Pemberian izin konsensi hutan, perencanaan tata ruang dan sebagainya yang menyentuh sumber daya alam harus melalui mekanisme partisipatif, terkoordinir melalui gampong-gampong. Adanya suatu proses transparan dan menerima masyarakat gampong yang membawa petisi atau pengaduan tentang persoalan krisis yang mereka alami.

Meskipun telah terbentuk asosiasi geusyik di Aceh, tetapi asosiasi semacam itu adalah asosiasi eksekutif dan cenderung ekslusif yang dapat digiring oleh partai politik dan kepentingan pemodal, mengingat pimpinan gampong kadangkala dikendalikan oleh kekuatan yang korup (Baca: Dinamika Gampong).

Maka sejatinya ada asosiasi gampong yang mampu berkonsolidasi lewat persetujuan masyarakat, terutama yang memungkinkan partisipasi murni dari kelompok masyarakat yang rentan seperti mereka yang buta huruf, perempuan janda dan kelompok marginal lainnya, bukan elit atau pejabat gampong.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline