Lihat ke Halaman Asli

Karena Semua Butuh Bimbingan

Diperbarui: 27 Agustus 2016   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

assalaamu’alaikum wr. wb.

“Mana yang lebih penting, tarbiyah atau kembali ke Qur’an dan Sunnah?”

Pertanyaan ini membuat pikiran saya agak sibuk selama beberapa waktu. Di satu sisi, ada kelompok yang kesibukannya senantiasa berorientasi pada tarbiyah, mengikuti ungkapan termasyhur dari Syaikh Musthafa Masyhur, “Tarbiyah bukan segala-galanya, namun segalanya bermula dari tarbiyah.” Di sisi lain, ada juga retorika lain yang tidak kalah termasyhurnya, yaitu bahwa umat Muslim telah mewarisi Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan karenanya, mereka harus selalu merujuk pada keduanya dalam segala hal. Istilahnya: “Kembali pada Qur’an dan Sunnah!”

 Sebelum segala sesuatunya, kita harus meluruskan dua hal. Pertama, “tarbiyah” secara sederhana dimaknai sebagai pendidikan, pembimbingan, dan makna-makna yang sejenis. Sebagaimana kata “dzikr” (mengingat) selalu identik dengan “dzikrullaah” (mengingat Allah), kata “tarbiyah” pun memiliki konotasi yang jelas dan tidak ditafsirkan secara serampangan. Artinya, meski “tarbiyah” kurang lebih bermakna “pembimbingan”, 

namun ia tidak mencakup pembimbingan untuk menjadi pencuri yang handal, pendidikan untuk meracik minuman keras bagi para bartender, atau hal-hal yang berkaitan dengan maksiat lainnya. Pembimbingan yang dimaksud di sini adalah untuk hal yang baik-baik, dengan penekanan lebih pada masalah agama, tanpa melakukan dikotomi dengan perkara-perkara lainnya.

Kedua, kita tidak akan memperdebatkan perlu-tidaknya merujuk kepada Qur’an dan Sunnah, karena hal tersebut adalah bagian dari Rukun Iman. Tidaklah dikatakan beriman jika seseorang tidak meyakini kebenaran Kitabullah dan sunnah Nabi saw.

Bagaimana pun, pertanyaan di atas menciptakan kerumitan yang unik.

Hal yang paling cepat terpikirkan oleh saya untuk menjawab persoalan ini adalah dengan menggunakan analogi. Meski analogi adakalanya tidak mampu menggambarkan permasalahan secara komprehensif, namun ia bisa digunakan untuk memperbandingkan hal-hal yang memiliki sejumlah aspek signifikan yang memiliki kesamaan. Analogi memudahkan kita untuk memahami sebuah persoalan dengan menganalisisnya dalam ‘bentuk’ yang lebih sederhana atau familiar.

Dalam benak saya, tarbiyah dapat dianalogikan sebagai sekolah dan segala aspek yang ada di dalamnya. Esensinya, dalam sebuah sekolah harus ada murid, guru, dan proses transfer ilmu. Hal-hal material seperti bangunan, kursi, meja, saya anggap tidak esensial, karena kita bisa melakukan proses pendidikan tanpa itu semua.

 Di sisi lain, Qur’an dan Sunnah dapat dianalogikan sebagai buku pegangan, buku teks, atau juga kurikulum pendidikan. Bedanya, buku atau susunan kurikulum yang satu ini tidak boleh direvisi dan tidak perlu disempurnakan, tidak mungkin pula diabaikan. Kedua analogi tersebut saya rasa sudah sangat baik, karena keduanya berkaitan dengan proses pendidikan, dan dengan demikian, kita dapat memposisikan keduanya dengan tepat.

Sudaharang tentu, baik sekolah dan segala aspek di dalamnya, demikian juga buku rujukan dan kurikulum, semuanya adalah hal-hal yang penting dalam proses pendidikan. Akan tetapi, jika harus dipilih mana yang ‘lebih penting’, saya akan mantap memilih yang pertama. Sebagai catatan, saya memberi tanda kutip pada frase “lebih penting” karena tidak bermaksud mengeliminasi apa pun, apalagi Qur’an dan Sunnah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline