Lihat ke Halaman Asli

Akhid Rosyidi

Sebuah Catatan Pinggir

Saat Remaja Memberontak Pada Orang Tua: Membangun 'Jaring Pengaman' dengan Komunitas Ayah Sosial

Diperbarui: 25 Juli 2025   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi by gemini, anak lari dari orang tua

Setiap orang tua sepertinya pernah merasakannya. Pintu kamar yang tertutup rapat setelah sebuah nasihat tak digubris. Kalimat, "Ayah nggak ngerti!" yang menjadi lagu wajib. Ini adalah fase alami remaja: sebuah dorongan biologis untuk mencari otonomi dan membangun identitas terpisah dari orang tua. Bahkan dalam keluarga yang paling harmonis dengan ayah yang selalu hadir, momen "pemberontakan" ini sering kali tak terhindarkan. Mereka paling anti mendengar pendapat orang tuanya, dan akan lebih patuh pada nasihat orang lain---entah itu teman sebaya, atau figur dewasa lain yang mereka anggap "keren".

Fase penolakan ini menciptakan sebuah "vakum pengaruh" yang sangat berisiko. Saat seorang remaja menutup telinga dari ayahnya, ia akan membuka telinganya lebar-lebar untuk suara lain. Pertanyaannya, suara siapa yang akan mengisi kekosongan itu? Suara influencer media sosial yang dangkal? Suara teman sebaya yang belum tentu benar? Atau, yang terburuk, suara dari lingkungan yang destruktif? Di sinilah banyak orang tua merasa tak berdaya, melihat anak mereka hanyut ke arah yang salah, sementara nasihat mereka sendiri mental tak berbekas.

Jaring Pengaman Ayah Sosial: Sebuah Rekayasa Komunitas

Ada sebuah pepatah kuno dari Afrika yang menangkap esensi dari solusi yang kita butuhkan: "It takes a village to raise a child"---dibutuhkan sebuah desa untuk membesarkan seorang anak. Semangat inilah yang menjawab pertanyaan, "Bagaimana jika kita bisa mengantisipasi 'pelarian' ini?"

Bagaimana jika kita tidak pasrah pada keadaan, melainkan secara sadar merancang sebuah ekosistem untuk menangkap mereka? Inilah fungsi lanjutan dari gerakan "Ayah Sosial" yang lebih terstruktur: membangun sebuah jaring pengaman (safety net) melalui komunitas ayah dengan visi ideologis yang sama.

Tujuannya bukan untuk mencegah remaja memberontak---karena itu adalah bagian dari proses tumbuh---melainkan untuk memastikan saat mereka "lari" dari satu figur aman (ayahnya), mereka akan "mendarat" di figur aman lainnya yang berada dalam satu barisan. 

Mekanisme Kerja Jaring Pengaman

Ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah rekayasa sosial positif yang terukur:

Fase #1: Membangun Jejaring & Visi Bersama

Sekelompok ayah dalam sebuah komunitas (lingkungan masjid, klub olahraga, komplek perumahan) berkumpul. Visi mereka tidak hanya berhenti pada slogan, melainkan didasarkan pada sebuah kesepakatan fundamental yang terinspirasi dari kearifan suku Maasai: "A child has no single owner"---seorang anak tidak memiliki pemilik tunggal. Mereka memandang setiap anak di komunitas bukan sebagai 'milik' orang tuanya, melainkan sebagai 'amanah' bersama yang harus dijaga oleh seluruh "desa".

 

Fase #2: Rekayasa Keakraban (Intentional Familiarity)

Para ayah ini secara sengaja dan intensif menciptakan titik-titik temu informal dengan semua anak di komunitas. Bukan hanya dengan anak kandungnya sendiri. Bisa melalui futsal bareng setiap akhir pekan, proyek bersih-bersih lingkungan, atau sekadar menyediakan bengkel/garasi sebagai tempat nongkrong yang positif. Tujuannya: agar setiap anak mengenal Pak Agung, Pak Budi, dan Pak Cahya bukan hanya sebagai "ayahnya si Fulan", tetapi sebagai "om asyik yang jago main gitar" atau "om keren yang ngerti motor".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline