Lihat ke Halaman Asli

Akbar Malik

Menjadi hebat dan melampaui keterbatasan

Kebiasaan "Ngaret" Orang Indonesia

Diperbarui: 13 Januari 2018   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: meetechno.com

Kebiasaan ngaret orang Indonesia seringkali dianggap sebuah budaya yang sudah mendarahdaging, sehingga terkesan amat sulit untuk ditinggalkan. Stereotype tersebut berkembang dan menjamur dikarenakan sulitnya orang Indonesia menjaga waktu, khususnya datang on time pada setiap pertemuan atau janji.

Padahal, saya amat yakin jika anggapan tersebut bisa dihilangkan jika ada keinginan yang kuat dari setiap individu untuk berubah agar selalu dapat datang tepat waktu. Karena menghadiri atau mendatangi sebuah pertemuan, janji, ataupun perkuliahan dengan tepat waktu rasanya tidaklah sulit, bahkan sangat mudah. Yang menjadikan sulit itu ialah belum adanya kesadaran bersama mengenai betapa pentingnya datang tepat waktu.

Ada yang berkata bahwa, "waktu adalah uang", "waktu adalah modal terbesar manusia", "waktu adalah senjata", dan lain-lain. Saya kira berbagai ungkapan itu omong kosong belaka jika merujuk pada kebiasaan orang Indonesia.

Mungkin sebagian dari Anda ada yang merasa protes dan tidak terima dengan judul dan isi tulisan ini,

"Oy, jangan digeneralisir gitu dong, gak semua orang Indonesia itu suka ngaret!"

Saya yakin bahwa tidak semua orang Indonesia selalu terlambat. Tidak. Tapi begitulah anggapan yang sudah beredar di masyarakat, bahwa orang Indonesia memang suka terlambat. 

Jangankan orang biasa yang terlambat menghadiri janji, mungkin bapak-ibu di kursi pemerintahan pun masih terlambat ketika menghadiri rapat. Rapat yang membahas tentang kemajuan masyarakat, membahas tentang kebijakan yang dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik. Rapat yang amat sangat penting, mungkinkah masih ada alasan untuk terlambat?

Mungkin tidak cukup bapak-ibu di kursi pemerintahan. Bapak-ibu dosen para akademisi juga mungkin tak jarang datang terlambat mengisi kuliah. Padahal mereka diminta hadir untuk mengedukasi para mahasiswa, mahasiswa yang katanya agent of change, penerus estafeta kepemimpinan dan perjuangan negeri ini, yang tentu sangat membutuhkan cairan ilmu dari para dosen. Mungkinkah para akademisi masih ada alasan untuk terlambat?

Kebiasaan terlambat rasanya sudah menjadi bagian DNA orang Indonesia. Yang tidak terbatas hanya pada kalangan bawah, tapi juga kalangan atas. Tidak terbatas hanya pada orang-orang biasa, tapi juga mereka yang memiliki peran penting di negeri ini. Semua kalangan. Semua golongan.

Dari apa yang saya cermati, "penyakit" ngaret ini merupakan penyakit yang menular. Mungkin mahasiswa yang saat ini masih menjajaki bangku perkuliahan, ketika nanti ia menjadi dosen atau birokrat, kebiasaan ngaret itu masih diwariskan dari para pendahulunya. Sehingga kebiasaan ngaret di Indonesia ini menjadi warisan budaya yang turun-temurun dari generasi ke generasi.

Setelah saya berpikir dan mencari kambing hitam mengapa orang Indonesia memiliki kebiasaan ngaret, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran agar kebiasaan ngaret bisa diminimalisir, bahkan dihilangkan. Berikut beberapa penyebabnya:

  • Multitasking yang dilakukan
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline