Lihat ke Halaman Asli

Sang Murobbi

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Teringat kembali akan sebuah masa ketika diri ini masih berada dalam kebingungan akan sebuah jati diri yang akan dipilih dan dijalani sebagai sebuah komitmen. Kurang lebih 9 tahun silam, ketika diri ini baru saja melepas si putih biru dan dengan penuh bangga berganti mengenakan putih abu-abu sebagai identitas baru dan tergabung dalam komunitas baru, ya, benar-benar baru. Agak canggung menghadapinya, tidak siap untuk menghadapi dunia baru yang begitu berbeda, sangat berbeda.

Teringat akan sebuah masa ketika diri ini berada dalam kebingungan akan pilihan jalan hidup yang terhampar di hadapan. Dihadapkan pada pilihan yang bahkan tak tahu apa yang akan menunggu di depan sana. Tak tahu mudah atau sulitkah menjalaninya. Tak tahu baik atau burukkah kondisi jalannya. Tak tahu selamat atau tidak jika memilihnya. Sungguh tak tahu.

Teringat akan sebuah masa ketika diri ini memutuskan untuk mencari teman perjalanan. Tak perlu dicari sebenarnya, karena mereka telah menemani diri ini sejak si putih biru masih melekat di badan. Walau telah terpisah oleh jarak, namun tak memisahkan kedekatan dan keterikatan satu sama lain, karena disatukan oleh nilai ukhuwah islamiah yang begitu kuat, yang telah ditanamkan sejak si putih biru masih bersama. Bersama-sama kami mencoba terus menjaga ikatan persahabatan, saling menjaga, saling berbagi, saling menasehati, saling mengunjungi. Hingga pada suatu masa, kami bertemu dengan seorang kakak dan juga guru bagi kami, yang bersedia dengan sepenuh hati menawarkan diri untuk membantu kami dalam memilih jalan hidup dan jati diri. Dialah sang murabbi.

Dengan penuh kesabaran dan keihklasan beliau menuntun, mengarahkan, membimbing kami yang kebingungan saat itu. Ditunjukkannya kepada kami kepada sebuah jalan hidup yang digambarkan dengan begitu indah, dengan janji surga menanti di ujung perjalan. Namun tak mudah untuk mencapainya, diperlukan usaha yang keras, komitmen, dan konsistensi untuk tetap berada di lintasan. Diperlukan ilmu untuk bisa bertahan, diperlukan amal yang tanpa putus untuk meraih hadiah yang menanti di garis finish.

Sebuah pilihan yang berat untuk kami pilih saat itu. Melihat ada pilihan jalan lain yang terlihat lebih indah dan mudah untuk dijalani. Jalan yang memang dipilih oleh kebanyakan anak seusia kami, sebuah jalan yang mengizinkan kami untuk bersenang-senang menikmati masa, yang menurut banyak orang merupakan masa-masa terindah dalam hidup. Sebuah jalan yang sangat menggiurkan dengan banyak kesenangan dunia. Namun tak banyak menyadari bahwa kemurkaan dari sang pencipta telah menunggu di ujung jalan itu, tak banyak yang menyadari bahwa kelak mereka yang memilih jalan itu akan mendapati penyesalan yang besar begitu mengetahui apa yang ada di ujung jalan itu. Namun kami tahu. Kami telah dberi tahu olehnya, oleh sang murabbi, telah diberitahu jalan mana yang seharusnya kami pilih. Dengan penuh keyakinan dan mengharapkan balasan kebaikan kami memutuskan untuk memilih jalan ini, jalan kebenaran, jalan yang penuh onak dan duri. Walau tertatih kami melangkah, walau peluh dan darah membasahi raga ini, kami tetap berusaha untuk berada di jalan ini.

Untukmu sang murabbi, terima kasih.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline