Lihat ke Halaman Asli

Ahlan Mukhtari Soamole

Menulis untuk menjadi manusia

Oposisi ala Orba Politik Praktis

Diperbarui: 18 Oktober 2019   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Ahlan Mukhtari Muslim Soamole*

Semenjak Prabowo (eks 02 capres oposisi) memilih bergabung dengan presiden terpilih, menuai beragam komentar publik bahkan tafsiran-tafsiran sindiran yang menganggap Prabowo kehilangan kepercayaan dirinya (self-trust), bahkan seorang figur public sebagaimana Rocky Gerung menyebutkan beralihnya Prabowo dari Oposisi ke koalisi merupakan cara mereka mempermainkan kekuasaan. 

Ataukah sebaliknya dapat berdalil bahwasannya faktor kekhwatiran, dan kepentingannya membuat kehilangan prinsip politik dalam berperan memainkan ritmenya sebagai oposisi loyal.

Detik-detik akhir politik (praktis) yang dramatikal ini, seolah menjawab bahwa perjuangan politik sekelas elite masih memiliki mental pecundang, secara berarti bahwasannya seorang pejuang yang lari dari medan pertempurannya. Perang urat saraf yang dimainkan selama ini, seolah tak berarti bagi masyarakat banyak (civil society) kekalahan sebelum bertempur, begitu bertentangan dalam makna perang itu sendiri. 

Rentetan peristiwa bangsa. Dan Negara, baru-baru ini sedikit memeras pikiran warga bangsa bahwa perjalanan politik kita masihlah amat gaduh, serta dalam sikon kegentingan. Francis Fukuyama (1999) misalnya seorang penulis terkenal AS berdarah Jepang mencoba melihat kondisi pada akhir kontemporer perang yang dimenangkan oleh kapitalisme sebagai kekuatan baru, Francis Fukuyama mengungkap suatu pandangan Platon disebut thumos, thymos berarti semangat, harga diri, kemenangan dll. Baginya terjadinya perang bukanlah faktor kendala ekonomi, politik maupun lainnya melainkan masalah harga diri.

Bagaimana sikap gejolak politik oposisi yang mencoba menghindar dari kekalahannya memilih menyesuaikan dengan adanya kepentingan kekuasaan. Perspektif iniliah tak beda jauh sebagaimana gagasan Nurcholis Madjid tentang peran oposisi yang dibaginya menjadi dua yakni oposisi loyal. Dan oposisionalisme. 

Oposisi loyal yang berbeda pandangan politiknya namun masih bersama dengan rezim penguasa menjalankan demokrasi secara kolektif, sedangkan oposisionalisme yang telah menjadi ssbuah paham oposisi amatlah mengkhawatirkan sebab memicu konflik, tak sejalan dengan Negara. Hal ini seringkali terjadi di Negara Afrika.

Prabowo dapat dikatakan memilih oposisi loyal dengan bermaksud lain memilih menyelamatkan kepentingannya.

Dilain sisi ketika debat pilpres kedua diadakan, debat yang dianggap tak substantif pembahasan kedua capres-cawapres terkesan menyembunyikan gejala lain pada khalayak public yang sesang menyaksikan. Ketertutupan itu dapat dikatakan sebagai upaya menyembunyikan kepentingan elite di Negara ini.

Seolah keberpihakan Jokowi misal kepada China, dengan menutup banyak masalah HAM isu ketenagakerjaan, Isu lingkungan, ketimpangan masyarakat lingkar tambang, tambang yang tidak sesuai prinsip good mining practice, pada ekonomi pun serupa lancarnya invasi ekonomi China terhadap sektor pertambangan. 

Alih-alih menumbuhkan pertumbuhan Negara, inpor TKA sebagai cara mendorong kebutuhan SDM lokal. Dan tingkat Nasional, pilihan yang amatir oleh presiden kala itu untuk tak mengumbar secara luas, maka bahasa-bahasa politis diutarakannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline