Lihat ke Halaman Asli

ahkam jayadi

Penulis Masalah Hukum dan Kemasyarakatan Tinggal di Makassar

Membenarkan Yang Biasa Bukan Mebiasakan Yang Benar analisis kejiwaan Bangsa Indonesia

Diperbarui: 24 Juli 2025   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Ahkam Jayadi

Salah satu paradoks mendalam yang mewarnai realitas sosial-politik bangsa Indonesia adalah kecenderungan membenarkan apa yang biasa dilakukan, alih-alih membiasakan apa yang benar. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan disorientasi nilai, tetapi juga menjadi cerminan kejiwaan kolektif bangsa yang belum selesai berdamai dengan etika dan kebenaran sebagai prinsip hidup.

Paradigma Kebiasaan versus Kebenaran

Dalam konteks ini, kebiasaan menjadi pembenaran sosial yang tak jarang menenggelamkan nilai-nilai etis. Ketika penyimpangan dilakukan secara terus-menerus dan menjadi hal "lazim", maka masyarakat cenderung memaklumi, bahkan mendukung, demi kenyamanan sosial. Konsep ini dikenal sebagai normalisasi penyimpangan (normalization of deviance) sebagaimana dipaparkan oleh Diane Vaughan dalam bukunya The Challenger Launch Decision (University of Chicago Press, 1996).

Fenomena ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan struktur budaya paternalistik dan patron-klien yang mendominasi interaksi sosial-politik Indonesia. Geertz (1976) dalam The Religion of Java (University of Chicago Press) menegaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tradisi hierarkis yang kuat, yang menyebabkan rakyat sering kali membenarkan tindakan penguasa tanpa menguji nilai kebenarannya.

Dimensi Kejiwaan Bangsa

Secara psikologis, kecenderungan membenarkan kebiasaan dibanding membiasakan yang benar merefleksikan fenomena kejiwaan kolektif berupa cognitive dissonance---ketegangan psikologis yang muncul ketika keyakinan tidak selaras dengan tindakan. Leon Festinger dalam A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford University Press, 1957) menjelaskan bahwa untuk meredam disonansi ini, individu akan menyesuaikan nilai atau persepsinya terhadap tindakan, bukan tindakan terhadap nilai.

Dalam konteks Indonesia, masyarakat cenderung merasionalisasi ketidakwajaran karena tekanan kolektif atau rasa takut terhadap konflik sosial. Hal ini diperkuat oleh kuatnya budaya nrimo (menerima nasib) dan ewuh pakewuh (sungkan), yang membuat kritik terhadap kebiasaan menyimpang menjadi tabu.

Teori Sosial dan Budaya

Pierre Bourdieu dalam Outline of a Theory of Practice (Cambridge University Press, 1977) menjelaskan konsep habitus sebagai sistem disposisi yang tertanam secara historis dalam tubuh sosial masyarakat. Ketika sebuah kebiasaan, meski menyimpang, tertanam dalam habitus, maka ia akan diterima sebagai sesuatu yang "wajar". Kebiasaan korupsi kecil-kecilan, nepotisme, atau manipulasi hukum adalah contoh nyata bagaimana penyimpangan menjadi bagian dari habitus masyarakat Indonesia.

Dari perspektif sosiologis, Emile Durkheim dalam The Rules of Sociological Method (Free Press, 1982) menyebut bahwa suatu tindakan menjadi "normal" jika ia dilakukan secara umum. Namun, Durkheim mengingatkan bahwa "normalitas statistik" tidak selalu sejalan dengan "normalitas moral".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline