Lihat ke Halaman Asli

AGUS WAHYUDI

TERVERIFIKASI

setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Pensiun

Diperbarui: 30 September 2019   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: lifealth.com

Akhirnya datang juga panggilan itu. Sepucuk surat dalam amplop cokelat kuterima dari seorang kurir, siang ini. Bergegas kubuka. Ah, benar juga dugaanku. Namaku masuk dalam list peserta pelatihan bagi calon purna tugas.

Aku segera melipatnya, lalu memasukkan lagi ke amplop. Menunggu istriku pulang yang menjemput anakku-anakku dari les karate. Surat itu, akan kuberikan setelah sebelumnya dia telah kuberitaku jika jika karirku tak lama lagi akan berakhir.

Dalam diam, aku membayangkan hari-hari nanti. Hari-hari nan sepi. Masih kah ada orang yang meneleponku? Mengajak bertemu untuk berdiskusi dan berkonsultasi sambil minum kopi? Berapa banyak kolega dan sahabatku yang tak akan memedulikanku lagi?

Pernyataan itu bergelayutan di pikirannku. Karena para seniorku dulu rata-rata mengaku stres bukan karena gak ada kerjaan. Tapi tak ada lagi teman yang mau meneleponnya, meski hanya sekadar menayakan kabar.   

 Lamunanku kemudian melesat jauh. Kali ini, membayangkan masa begitu bergairahnya bekerja. Bertugas hingga larut, bahkan sampai dinihari. Meski aku harus keterima cibiran sebagai sosok asosial lantaran tak punya waktu bermasyarakat.

Saban bulan, aku terima gaji. Lebih dari cukup. Ditambah tunjangan prestasi dan keluarga. Tak ada masalah serius dengan kebutuhan periuk nasiku. Aku masih bisa nabung, kuhitung benar berapa zakat yang harus kukeluarkan. Betapa bahagianya aku melihat senyum riang ketiga buah hatiku saat mereka kuajak bertamasya.

Kala itu, berbagai peluang yang ditawarkan pimpinan kepadaku teramat lempang. Mulai dari kenaikan jabatan, bonus, sampai kesempatan melakukan lawatan ke luar negeri. Terlalu dekat bagiku untuk meraih segala impian. Hampir-hampir tak ada jarak antara aku dan pimpinanku.

Tapi, kegairahan itu berasa sekejap. Di usiaku kini, aku makin terpinggirkan. Setelah masuknya 62 tenaga kontrak. Usianya tak lebih dari 27 tahun. Mereka benar-benar jadi petaka bagiku. Pimpinanku tidak lagi melirik diriku. Aku sudah dianggap lamban.

Tiga tahun terakhir, aku tak lagi memegang memimpin divisi promosi dan pemasaran. Aku ditempatkan sebagai pengawas. Posisi baru ini membuatku bingung. Karena sesungguhnya tak pernah jelas apa yang harus kuawasi.

Suatu ketika, aku pernah mengeluhkan posisiku kepada Burhan, atasanku kini. Usianyanya hanya selisih setahun denganku. Namun nasib Burhan lebih beruntung ketimbang diriku.

"Han, sesungguhnya apa yang bisa kulakukan agar aku bisa merasa lebih bermartabat bekerja di sini?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline