Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Sekilas Realitas di NTT Seputar Isu Politisasi Agama dan Agamaisasi Politik Nasional

Diperbarui: 24 September 2018   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Sejak beberapa hari ini media massa-cetak (harian) di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami penambahan lembar (halaman) bertajuk "Iklan" yang berisi "Daftar Calon Legislatif (Caleg--Pen.)", baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Salah satu contohnya adalah harian Timor Express edisi Minggu, 23/9.

Untuk tingkat provinsi, iklan tersebut berada di hlm. 25. Para caleg bernaung di bawah lambang partai-partai, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra (PG), Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan (PDIP), Partai Golkar (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Garuda (Garuda), Partai Berkarya (PB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Ada realitas yang cukup menarik di provinsi yang berjumlah penduduk 5.287.302 jiwa ini berkaitan dengan isu nasional seputar politisasi agama dan agamaisasi politik menjelang kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dengan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pilpres 2019 di era kencang-derasnya media internet mutakhir. Hal itu pun terkait dengan jumlah para pengguna internet, yang pada 2017 totalnya 143,26 juta orang, dimana 58,08% (83,205 juta orang) berada di Pulau Jawa dan 19% (27,219 juta orang) di Sumatra.

Pada mulanya benturan antara politik dan agama mencuat terjadi pada kontestasi Pilpres 2014. Hal tersebut ditandai dengan kemunculan tabloid Obor Rakyat dalam empat edisi yang dikelola oleh pendukung salah satu kontestan untuk menyerang rival kontestan dengan label "PKI" dan "anti-Islam", diproduksi sebanyak 1 juta eksemplar, dan disebarkan ke 28.000 pondok pesantren dan 724.000 masjid di Pulau Jawa.  

Dalam edisi pertamanya saja, 5-11 Mei 2014, tabloid itu sudah menjurus secara telak pada ranah agama, melalui beberapa judul provokatifnya. Di antaranya ialah "Dari Solo Sampai Jakarta De Islamisasi Ala Jokowi", "Disandera Cukong dan Misionaris", dan "Partai Salib Pendukung Jokowi". Meski kasusnya sudah disidangkan pada 2016, toh, isu agama masih bergema bahkan kembali riuh di seantero jagat internet Indonesia, mengingat banyaknya jumlah pengguna internet berasal dari Jawa dan Sumatra, yang sebagian berminat pada isu politik terkini.

Cukup menariknya begini. Dari total jumlah penduduk NTT (5.287.302 jiwa), persentase penduduk berdasarkan agama yang dianut di NTT (BPS 2017), ialah 8,66 % penganut Islam, 34,06 % penganut Kristen Protestan, 55,85 % penganut Katolik, 0,21 % penganut Hindu, 0,02 % penganut Budha, dan 1,2 % penganut agama lainnya.

Keterlibatan warga NTT sebagai caleg tingkat provinsi di bawah bendera partai-partai berbasis agama, yaitu PKB, PKS, PPP, PAN, dan PBB, bukanlah berarti "wajib" sesuai dengan agama yang dianut oleh caleg. Kalau dilihat dari nama dan atribut agama si caleg, tidaklah berlaku kesesuaian dengan partai berbasis agama itu. 

Artinya, isu politisasi agama dan agamaisasi politik tidaklah perlu ditabuh bertalu-talu hingga beringar-bingar seakan genderang perang atas nama agama sedang dimulai untuk kontestasi politik dalam demokrasi Pancasila yang khas Indonesia. Mayoritas masyarakat NTT dalam realitas sehari-hari di antara situasi politik praktis dunia nyata tidaklah terjebak dalam isu politik nasional yang banal itu. 

Oleh sebab itu, kiranya persoalan mayoritas-minoritas, khususnya agama, pun sudah tidak perlu lagi dipoles secara menor lagi untuk dipajang di ruang-ruang publik sebab dikotomi mayoritas-minoritas sangatlah berbeda antarwilayah di Indonesia. Alangkah baiknya segelintir elite politik beserta "kepentingan" mereka di Indonesia bagian barat berhenti "meneriakkan" isu seputar agama yang cuma berpotensi mencederai tatanan sosial berbangsa-bernegara, dan membuat dinamika politik justru timpang secara nasional. Tidaklah elok jika memandang Indonesia secara utuh dari barat sampai ke timur.

Elite partai-partai berbasis nasionalis pun sudah tidaklah layak merecoki persoalan "menor" semacam itu, termasuk dengan istilah "partai Tuhan" dan "masuk surga-neraka". Toh, caleg-caleg atau kader-kadernya pun berlatar beda agama. Tidaklah perlu repot bertopeng ketika berkoalisi dengan partai-partai berbasis agama sebab, toh, dampak potensialnya justru pada tatanan sosial di kalangan rakyat secara umum (akar rumput). Berhentilah mencederai agar tidak melebar menjadi menganiaya dan menyiksa tatanan kehidupan bangsa-negara secara luas.

Dan, bagi warganet, kemampuan memiliki sekaligus mendayagunakan alat informasi berteknologi mutakhir justru sewajarnya semakin bijaksana untuk menyadari secara seutuhnya mengenai realitas wilayah yang luas dan ber-Bhinneka Tunggal Ika dalam dinamika politik di Republik ini. Jika didukung oleh kondisi ekonomi memadai, barangkali penting untuk dilakukan oleh sebagian kalangan orang Indonesia adalah berkunjung ke wilayah Indonesia yang berlatar beda agama dari yang dianut agar benar-benar mengalami sendiri hal-hal terkait dengan dinamika politik yang timpang akibat trik-intrik segelintir elite politik. Wilayah Indonesia itu luas--bukan hanya Sumatra, Jawa, dan Bali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline