Lihat ke Halaman Asli

Agustina Purwantini

TERVERIFIKASI

Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Resolusi Sehat Tahun 2022: Fokus Kesehatan Mental

Diperbarui: 8 Januari 2022   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat jalan pagi di Kampung Ketandan (Dokpri)


Seperti yang tersurat pada judul tulisan ini, fokus dengan kesehatan mental adalah resolusi sehat tahun 2022 yang saya canangkan. Bukan berarti saya kemudian abai terhadap kondisi kesehatan fisik, lho. Kalau sesekali tanpa sengaja abai, mungkin iya. 'Kan enggak sengaja? Aslinya ya, saya tetap berusaha memelihara imunitas tubuh.

Mengapa Fokus pada Kesehatan Mental?

Teman-teman yang tahu keseharian saya pasti cekikikan membaca judul di atas. Cekikikan sebab di mata mereka, kesehatan mental saya selalu bagus. Sampai-sampai ketika saya bilang ingin curhat demi mewaraskan jiwa, mereka tidak percaya.

"Kamu mau curhat? Beneran, nih? Berarti dunia sedang tidak baik-baik saja, dong."

Eeeaaa! Tampaknya mereka lupa kalau saya manusia biasa. Bukan manusia dalam sinetron yang bisa dibikin statis perasaannya (oleh penulis naskah). Hanya gara-gara tak pernah mengeluh, kok dianggap tak butuh curhat. Hanya sebab murah senyum, kok dianggap tak pernah galau. Konsepnya 'kan tidak begitu?

Jelas itu merupakan kesalahkaprahan yang merugikan, bahkan membahayakan, bagi orang-orang yang dianggap tak layak curhat. Terlebih kalau anggapan tak layak curhat itu masih diembel-embeli dengan kalimat, "Kamu kurang bersyukur saja sebenarnya."  

Joko Sembung bawa belati. Sungguh, kalimat penghakiman tersebut tiada nyambung sama sekali. Bila orang yang "dinasihati" tingkat kerapuhan mentalnya parah, niscaya ujungnya buruk.

Merasa dihakimi. Merasa tak ada yang memedulikan. Akhirnya merasa sendirian, keberatan menanggung beban hidup, dan pelan-pelan menjadi gila sebab kebanyakan pikiran. Yang lebih parah, ada yang ujungnya bunuh diri.

Nauzubillahi mindzalik. Saya sungguh tak mau begitu. Dalam diri ini pun ada dorongan kuat untuk mengikis potensi gila dan bunuh diri. Tentu dorongan kuat tersebut bukan tanpa sebab dan sedihnya, kondisi seorang temanlah yang menjadi penyebab utama.

Seorang teman kuliah beda fakultas, yang pintaaar sekali sehingga berhasil mendapatkan beasiswa S-2 (di Jerman) dan S-3 (di Australia) kini awut-awutan hidupnya gara-gara kesehatan mental yang buruk. Kariernya sebagai dosen di sebuah PTN ternama otomatis habis.

Saya tahu bahwa prevalensi gangguan mental di Provinsi DIY tinggi. Bahkan dalam website resmi Dinas Kesehatannya, diinformasikan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa berat di DIY pada tahun 2018 menempati urutan ke-2 nasional. Namun, sungguh tak disangka-sangka jika teman yang saya kagumi ternyata menjadi salah satu penderitanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline