Lihat ke Halaman Asli

agus siswanto

tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Mereka Memang Beda

Diperbarui: 28 Juni 2021   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: merdeka.com

Melepaskan diri dari zona nyaman adalah sesuatu yang luar biasa bagi siapa pun. Pada umumnya orang justru akan memperlama berada dalam posisi ini. Karena sejatinya posisi ini yang dicari oleh setiap orang. Maka ketika ada orang yang justru beringsut dari zona tersebut mendatangkan sejuta pertanyaan besar. Ada apa dengan dia? Dan bukan tidak mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai langkah bodoh.

Langkah berani ini telah dilakukan pada 113 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1908. Saat itu 3 orang pemuda memberanikan diri untuk beringsut dari zona itu. Mereka adalah dr. Sutomo, dr. Gunawan dan dr. Wahidin Soedirohusodo. Langkah berani mereka bukan langkah yang tidak beresiko. Suasana penjajahan menjadi ancaman bagi siapa pun yang menciba mengusik kekuasaan colonial. Dan bukan tidak mungkin penjara sebagai imbalannya.

Bagi ketiga pemuda tersebut, sebenarnya tidak ada yang kurang pada diri mereka. Dalam strata sosial, kedudukan mereka begitu mapan. Mereka adalah putra para bangsawan, sehingga mendapat hak privilege menikmati pendidikan. Dan tidak tanggung-tanggung mereka bisa masuk STOVIA (Sekolah Dokter Jawa). Strata bangsawan selain mendapat keistimewaan dari pemerintah colonial, mereka juga dihormati oleh bangsanya sendiri, karena mereka masih keturunan darah biru.

Sisi lain yang tak kalah bersinar adalah masa depan mereka. Dengan menempuh pendidikan di STOVIA, jalur karir mereka terlah terbentang cerah. Ibarat karpet merah yang hendak mereka lalui. Pundi-pundi gulden dipastikan mengalir ke kantong mereka denghan profesi dokter yang mereka pegang. Penghargaan dari siapa pun, baik kaum kolonialis maupun rakyat jelata sudah pasti akan didapatkan. Posisi sebagai dokter, membuat mereka mampu berdiri di sisi mana pun.

Namun berbagai gambaran tersebut tidak mampu menahan langkah mereka. Bekal kemudahan untuk bergerak, justru digunakan untuk menggalang kekuatan membentuk sebuah organisasi pergerakan. Langkah-langkah mereka ke berbagai pelosok Jawa, justru dijadikan ajang kampanye bagi organisasi yang akan mereka dirikan. Sebuah langkah anti kemapanan bagi sebagian kaum bangsawan.

Muluskah langkah mereka? Tentu saja tidak. Para orang tua yang sudah memimpikan kedudukan sosial karena profesi itu tentu saja keberatan. Ancaman penangkapan dan black list dari pemerintah colonial pun menjadi ketakutan yang nyata. Karena bukan tidak mungkin hal itu akan berdampak pada kedudukan orang tua dalam pemerintahan colonial. Sebuah ancaman yang menakutkan.

Langkah berani yang dilakukan ketiga pemuda di jamannya itu, hendaknya menjadi cermin buat kita semua. Dengan segala potensi yang dimiliki, medan perjuangan terbentang luas. Mengangkat senjata, tentunya bukan satu-satunya cara berjuang. Setiap orang dapat melakukan perjuangan untuk negara ini dengan cara masing-masing. Termasuk kita para guru maupun penulis.

Fakta yang tidak terbantahkan, bahwa melalui pendidikanlah percepatan perjuangan bangs aini tercapai. Saat pemerintah colonial Hindia-Belanda menerapkan Politik Ethis pada awal tahun 1900an, justru laju perjuangan semakin cepat. Sector pendidikan yang menjadi bagian dari Politik Ethis menyumbangkan banyak kaum intelek di negeri ini, termasuk ketiga tokoh di atas. Dan hal ini bukan tidak mungkin terjadi pada zaman ini.

Lembah Tidar, 28 Juni 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline