Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

"Wabah" Klepon Pasca Tudingan Jajanan Tidak Islami

Diperbarui: 22 Juli 2020   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto jajanan klepon | Sumber gambar: mancode.id

Tidak perlu emosi, barangkali kita seharusnya berterima kasih kepada akun medsos yang menyebut bahwa jajanan klepon itu tidak islami. Mengapa? Justru dengan pernyataan kontroversial itu publik menjadi ngeh kembali dengan jajanan khas Indonesia yang mungkin belakangan popularitasnya memudar seiring serbuan berbagai kuliner dari luar yang terus membanjiri pasar tanah air. 

Beragam jajanan kuliner ataupun hidangan khas luar negeri seperti kebab, dimsum, takoyaki, dan lain sebagainya seolah lebih akrab di telinga masyarakat khususnya para milenial dibandingkan beberapa jenis jajanan lokal seperti klepon, klanting, tiwul, getuk, atau sejenisnya. 

Secara tidak langsung, unggahan tentang klepon yang tidak islami itu justru menjadi media promosi yang luar biasa. Bahkan narasi untuk mempromosikan jualan utama pemilik akun yaitu kurma malah kalah pamor dibandingkan viralnya berita tentang klepon. 

Jika benar si pengunggah status tersebut adalah pemilih usaha jajanan "syariah", bisa dibilang ia sudah salah promosi. Salah dalam artian bukan produk jualannya yang laris, malah jualan milik orang lain yang menenggak untung besar.

Dalam bahasan ilmu tentang informasi yang mewabah, Jonah Berger dalam buku Contagious menyebut bahwa aspek emosi memegang peranan penting dalam membangun informasi yang mewabah atau viral. 

Unggahan tentang klepon tidak islami ini sudah menyentuh aspek emosi seseorang. Entah itu emosi gemas, marah, penasaran, dan lain sebagainya yang intinya justru membuat otak seseorang cenderung "aktif" atau "menyala" atau "berapi-api". 

Narasi utamanya adalah tentang klepon, sehingga biarpun maksud unggahannya adalah cenderung menyudutkan status jajanan klepon efek yang ditimbulkan justru sebaliknya. Klepon malah semakin populer dan berulang kali disebut namanya. Saya sangat yakin bahwa beberapa waktu ke depan para penjual jajanan klepon ini akan merengguk angka penjualan yang lebih baik dari sebelumnya.

Selain itu ada satu fenomena yang seringkali terjadi dalam beberapa kasus terdahulu dengan kondisi mirip. Ketika ada sesuatu yang diusik dan hal itu memiliki keterkaitan dengan sisi kehidupan kita maka respon "marah" cenderung kita berikan. 

Contohnya ketika batik diklaim oleh Malaysia beberapa tahun lalu, seketika mengenakan pakaian batik meningkat menjadi sebuah tren hingga kemudian ada penetapan hari batik nasional. Saat misalnya gojek dihina oleh salah seorang konglomerat asal Malaysia, respon netizen pun ramai-ramai membela. 

Saat ada berita viral bakso lobster murah di daerah Bekasi yang dituding sebagian kalangan sebagai "lobster plastik" atau lobster palsu hal itu justru membuat para reviewer kuliner penasaran untuk mendatanginya. Sisi emosi yang tersentuh oleh sebuah narasi berita atau status medsos seseorang bisa sangat ampuh untuk mengangkatnya menjadi sebuah trending topic populer di jagad dunia maya.

Setiap orang cenderung tertarik akan kontroversi. Menyebut klepon tidak islami pasti akan memicu perdebatan dan kajian lebih lanjut. Kemungkinan akan muncul bantahan dan pembuktian tentang bagaimana klepon dibuat. Pembahasannya bisa jadi akan meluas hingga menyentuh hal sensitif seperti keyakinan beragama seseorang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline