Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Memutus "Lingkaran Setan" Budaya Saling Menyalahkan

Diperbarui: 4 Oktober 2019   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik | Ilustrasi gambar : https://pixabay.com

Berbeda pendapat merupakan sesuatu yang lumrah terjadi didalam suatu organisasi. Mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, hingga ke lingkup yanng lebih besar seperti organisasi bisnis, bahkan sebuah negara sekalipun. Perbedaan pendapat adalah representasi pemikiran yang berwarna-warni. Setiap orang memiliki sudah pandang dan pemahaman masing-masing.

Dalam sebuah organisasi yang memiliki satu tujuan besar, pada umumnya setiap orang didalamnya memiliki peranannya masing-masing. Ada "Job description" masing-masing yang harus dijalankan dengan baik. Terkadang, selalma prosesi menjalankan tugas masing-masing itulah kita dihadapkan pada situasi konflik. Terjadi ketidaksepahaman hingga berujung pada aksi saling menyalahkan satu sama lain. Satu orang menunjuk muka orang lain dan menyatakan bahwa merekalah yang bersalah. Demikian juga orang yang ditunjuk bersalah itu bisa menuding balik atau menyalahkan orang yang lain lagi sehingga tercipta lingkaran setan budaya saling menyalahkan di suatu organisasi.

Setiap individu memiliki "sistem pertahanan diri" masing-masing. Yaitu, mereka umumnya akan secara otomatis menolak kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Bagaimanapun juga merupakan sifat alami manusia untuk bertahan dan menyangkal ketika dia dipersalahkan. Setiap orang seringkali merasa  bahwa dirinyalah yang paling benar. Merekalah yang berhak menyalahkan, bukan disalahkan. Apabila paradigma seperti ini terus dipertahankan, maka lingkaran setan dari budaya saling menyalahkan ini akan terus abadi. Harus ada sebuah tindakan nyata yang mampu memutus lingkaran setan itu. Dan hal itu tidak bisa dimulai dari luar, melainkan harus dari dalam organisasi itu sendiri.

Pemimpin Harus Berkaca Saat Anggotanya Berkonflik

Kualitas budaya organisasi sangatlah bergantung pada peranan pemimpinnya. Apakah ia mampu mengayomi anggota timnya? Apakah ia mampu menciptakan suasana kondusif bagi organisasi yang dipimpinnya? Ataukah ia justru menjadi pemicu konflik demi konflik yang terjadi didalam organisasi?

Pada saat terjadi aksi saling serang antar sesama anggota tim, antar anggota keluarga, atau antar sesama warga negara, maka pada saat itulah sang pemimpin tertinggi harus berkaca melihat dirinya sendiri. Jangan-jangan selama ini ia telah salah langkah dalam membawa serta oraganisasi yang dipiminnya, atau jangan-jangan sang pemimpin secara tidak sadar telah ikut serta menciptakan budaya yang "salah" didalam organisasi tersebut.

Berkaca itu penting, kontemplasi itu penting, dan evaluasi harus dilakukan secara berkala. Bukan semata evaluasi pada tim, tetapi juga evaluasi pada diri sang pemimpin sendiri. Bisa jadi hal inilah yang seingkali luput dari perhatian karena sang pimpinan menganggap bahwa dirinya yang paling baik, paling tahu, dan paling berkuasa daripada yang lain. Mungkin sang pemimpin telah menciptakan suasana organisasi yang penuh dengan "ketegangan" dan "ancaman" yang pada akhirnya membuat segenap penghuni organisasi menjadi sama-sama ingin melindungi dirinya sendiri-sendiri, bukan melindungi satu sama lain.

Setiap orang memiliki sekat pembatas yang menyatakan bahwa ia dan orang lain adalah berbeda. Orang lain boleh dihukum, tapi tidak untuk dirinya. Sehingga tudingan pun dilemparkan, alasan dilontarkan, dan berbagai cara dihalakan untuk menghindar dari tekanan ataupun ancaman yang mungkin ia terima di organisasi tersebut. Ancaman itu bisa beraneka ragam seperti mendapatkan marah, ditegur, dipecat, atau barangkali mendapatkan konsekuensi hukum. Hal itu semua telah menghilangkan rasa aman bagi setiap orang untuk berhasrta saling melindungi satu sama lain di organisasinya. Buat apa melindungi orang lain kalau hukuman itu tidak nyaman untuk kita jalani.

Lantas siapa yang bisa memutus lingkaran setan ini? Sikap sang pemimpin dan budaya organisasi harus diselaraskan bahwa mereka adalah satu tubuh yang sama dengan peranan yang beragam. Ada yang menjadi otak, ada yang menjadi mata, tangan, kaki, dan sebagainya. Ketika salah satu bagian tubuh itu sakit maka anggota tubuh yang lain akan merasakan hal serupa. Sehingga yang ada hanyalah semngat saling melindungi.

Hampir tidak pernah terjadi situasi dimana otak mengancam akan memotong tangan atau melukai kulit, dan sejenisnya. Semuanya memiliki semangat yang sama. Lingkaran setan budaya saling menyalahkan akan bisa dihilangkan saat sebuah organisasi mampu bersikap layaknya satu tubuh.

Salam hangat,

Agil S Habib




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline