Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Yang Hidup dan Mati di Era Industri 4.0

Diperbarui: 2 Agustus 2019   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi logistik pada era industri 4.0 (sumber: Shutterstock/Maxx-Studio)

Revolusi industri 4.0 telah menciptakan sebuah tatanan baru dalam berbisnis. Pola bisnis model lama, konvensional, tradisonal, banyak yang bertumbangan digantikan dengan model bisnis baru yang mengedepankan layanan digital serta mengutamakan dukungan perkembangan teknologi informasi. 

Ritel-ritel seperti giant, hypermart, dan sejenisnya mendapatkan tekanan yang begitu kuat. Bahkan ritel sekelas seven eleven pun kini harus menyudahi eksistensinya. Sebagai gantinya, marketplace seperti tokopedia, bukalapak, bli bli, dan beberapa jenis usaha digital lain terlihat berkembang semakin pesat.

Sebuah era baru melahirkan produk sesuai zamannya, yang akan menggerus keberadaan produk lama. Ketika generasi terdahulu tidak mampu berinovasi sesuai tuntutan zaman maka mereka akan kalah dan gulung tikar. Generasi baru memiliki keunggulan penguasaan informasi dan kreativitas yang lebih mumpuni dibandingkan generasi terdahulu. 

Sebenarnya, generasi lama pun memiliki kesempatan serupa untuk berkembang dengan sama baiknya. Hanya terkadang mereka terjebak oleh kenyamanan masa lalu yang tanpa sadar telah melenakan mereka, dan baru disadari setelah semuanya sudah terlambat.

Dalam dunia industri, setiap produk umumnya memiliki karakteristik fase hidup yang sama. Introduction, growth, maturity, dan decline. Produk lama, bisnis model lama, pemain lama, atau apapun sebutan dari mereka yang eksis sejak sebelum era industri 4.0 pun juga mengalami fase serupa. 

Tidak sedikit dari mereka yang baru menyadari eksistensinya telah mencapai tahap decline atau penurunan di tengah-tengah perubahan zaman yang begitu cepat seperti sekarang ini. Padahal sebuah era tidak langsung begitu saja terjadi, ia pasti ditandai dengan kehadiran beberapa hal baru pada masanya. 

Mereka yang peka menangkap tanda-tanda ini pasti akan dengan sigap menyiapkan diri, sebaliknya mereka yang terlalu asik dengan dirinya tanpa melihat segala perkembangan di lingkungan hanya akan menemui penyesalan di kemudian hari. Dalam hal ini kasus Kodak atau Nokia semestinya menjadi sebuah pembelajaran berharga.

Kita semua pasti tidak asing dengan taksi Bluebird. Bisa dibilang ia merupakan penguasa pangsa pasar transportasi taksi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Eksitensinya tidak diragukan. Kehadiran beberapa provider taksi baru pun tidak mampu mengusik besarnya "kekuasaan" yang mereka miliki. Namun siapa sangka Bluebird ternyata sempat begitu kewalahan saat transportasi daring yang digawangi Go-Jek, Grab, dan Uber booming di masyarakat. 

Kenyataan ini seakan ingin menunjukkan bahwa periode hidup suatu organisasi bisnis tidak bisa dijadikan patokan tentang kemampuannya bertahan menghadapi serbuan baru perkembangan dunia industri yang dikenal dengan era industri 4.0. Semua bisa saja terjadi.

Persaingan Lintas Bidang
Secara umum kita akan mengatakan bahwa persaingan bisnis itu hanyalah melibatkan persaingan bidang-bidang sejenis. Bisnis elektronik seperti smartphone kita anggap hanya bersaing dengan sesama bisnis smartphone, pengusaha baju dengan sesama pengusaha baju, ritel dengan ritel, dan lain sebagainya. 

Akan tetapi hal ini sudah tidak relevan lagi berlaku dalam bisnis di era modern. Persaingan yang terjadi saat ini adalah persaingan lintas bidang. Pebisnis ritel bisa bersaing dengan pengusaha bioskop. Bidang otomotif bisa bersaing dengan smartphone

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline