Lihat ke Halaman Asli

Agil Cyraiz

Warga sipil

Pengalaman menjadi Panitia Pemilu yang Berujung Bencana

Diperbarui: 1 November 2020   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu tahun 2019 yang sudah lewat lalu menyisakan banyak pengalaman dan pelajaran bagi saya. Bagaimana tidak, pada pemilu tahun 2019 itu adalah pengalaman pertama saya mengikuti proses demokrasi bukan sebagai pemilih namun sebagai panitia.

Awalnya saya ingin menjadi panitia dalam tingkat kecamatan, namun karena minimal untuk menjadi panitia dalam tingkat kecamatan harus berumur 21 tahun, sedangkan pada saat itu saya baru berusia 19 tahun. Karena sebab itu akhirnya saya mendaftar sebagai panitia di tingkat lingkungan saja.

Saya yang saat itu berumur 19 tahun pun sangat antusias dalam mengikuti proses demokrasi ini. Singkat cerita saya mendaftar ke kelurahan setempat untuk menjadi panitia pemilu tahun 2019 dengan membawa beberapa persyatan. Di antaranya seperti foto copy ktp lalu foto copy kartu keluarga hingga surat keterangan sehat yang saya dapatkan dari puskesmas setempat, letak puskesmas ini memang bersebelahan dengan kantor kelurahan di desa saya, yaitu desa cibadak kelurahan tanah sareal kota bogor.

Hingga akhirnya tibalah hari pemilu tersebut, yang di selenggarakan pada bulan september 2019. Sebelum pemilihan umum tersebut saya memang beberapa kali mengikuti pelatihan singkat yang diadakan oleh KPU. Dimalam sebelum pemilihan kotak suara, surat suara, tinta dan perlengkapan pemilihan lainnya sudah dikirim ke lokasi pemilihan, saya dan anggota panitia lainnya sudah menyiapkan segala sesuatunya hingga subuh sebelum pemilu dimulai.

Pada pagi harinya proses pencoblosan pun dimulai, sampai sini saya masih sangat antusias untuk mengikuti rangkaian menjadi panita ini. Begitu pun para warga masyarakat yang hari itu menentukan para pemimpin dan wakil mereka di parlemen, hingga tingkat keikutsertaan di lokasi saya mencapai 95%. Sebuah angka yang fantastis.

Namun, setelah semua selesai teoat pada jam 8 malam, hasil pemilu pun harus dihitung suaranya. Nah disinilah saya sangat menyesal menjadi seorang panitia pemilu. Bukan karena ada kecurangan, melainkan tugas dibebankan pada panitia ternyata amat sangat berat, dimana kami harus menghitung satu persatu suara yang jika ditotal jumlahnya ada ribuan. Dengan ketelitian yang tidak boleh hilang sedikitpun karena setiap suara akan menentukan masadepan seseorang bahkan saya sendiri.

Kami pun melakukan penghitungan hingga tepat adzan subuh berkandang. Bayangkan dari subuh hari sebelumnnya kami semua belum tidur dan terus mendapat tekanan untuk segera menyelesaikan tugas karena akan segera dihitung oleh KPU. Saya yang berusia 19 tahun pun sangat merasa kelelahan, saya berfikir bagaimana jika panitia berusia lebih senior dari pada saya? Apakah kondisi mereka bisa menahannya?

Dan hal yang saya takutkan pun terjadi, pemilu yang diadakan pada 2019 menjadi pemilu yang menurut saya adalah bencana. Bagaimana tidak, dengan sistem yang menurut saya masih sangat kuno dan tumpang tindih. Beban kerja para panitia dan pengawas pemilu amatlah berat. Pada pemilu 2019 tercata tidak kurang dari 520 orang panitia meninggal dunia karena kelelahan, dan ribuan masuk rumah sakit. Jumlah yang tidak bisa saya percaya, karena pemilu ini berjalan damai bahkan semarak. Namun memaksn korban jiwa yang sanggat banyak seperti sedang terjadi bencana.

Singkat kata, saya berharap bahwa pemilu tahun 2020 ini dapat berjalan dengan lebih baik dan sistem yang barus ditingkatkan. Karena satu nyawa pun tidak boleh dikorbankan untuk demorasi yang indah ini di indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline