Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Mencari Langit dan Bumi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340431947340113727

Aku lahir di hari yang tak begitu dingin. Udaranya pas untuk seekor anak ayam menetas dari telurnya. Cukup sejuk untuk seorang petani turun ke sawah dan pulang dengan sepuluh ketela. Dekat dari pesisir, tak jauh dari pegunungan. Lalu bertumbuh jadi makhluk yang terus melihat. Seperti itulah kiranya kurasakan sampai sekarang. Untuk pekan ini, ada banyak cerita yang ingin diungkapkan. Ini cerita satu bulan silam, ketika perjalanan tak sepahit beberapa tahun lalu. Kala itu aku harus tenggelam beberapa kali bersama koi memperebutkan air sejuk di pesisir Klaten. Lalu hanyut sebelum membentur dinding bendungan. Kali ini, aku punya beberapa cerita. Kita mulai saja dari langkah yang paling kecil. Dari apa yang saya lukiskan sebagai mimp-mimpi kecil. Kata orang-orang aku lahir tepat adzan magrib. Saat kampung begitu sepinya. Dan burung-burung melintas ke tempat persembunyiannya. Tak banyak yang bisa kulukiskan tentang hari itu. Yang kudengar hanya tawa dan tangis, juga sesekali bunyi kendaraan dari kejauhan. [caption id="attachment_190072" align="aligncenter" width="630" caption="Langit di atas Kali Code, Yogyakarta. Diambil pada 22 Maret 2012 dari tanggul Masjid Syuhada. "][/caption] Dulu sempat terpikir makhluk seperti kita itu akan lahir di kedalaman air. Dipancing dan diberi makan untuk kemudian menetas ke alam liar. Sempat muncul bayangan bagaimana aku berada di tanah lumpur dan langit terhalang oleh bayang permukaan air. Dari bawah bumi itu, betapa pencarian langit terasa begitu indah. Ketika orang-orang bersorak dan permukaan air beriak. [caption id="attachment_190073" align="aligncenter" width="630" caption="Langit dan Air di pemancingan Kadisoka, Sleman. Dua tambak dan satu langit utuh beserta lukisannya yang cerah. Foto diambil pada 5 Februari 2012."]

13404321951789805850

[/caption] Lalu saat mendapatkan sejenak kebebasan aku menengadah ke kedalaman langit. Melihat tiga Cangak Abu yang bersorak sambil bergurau. Mungkin mereka sedang rapat pembentukan panitia Ramadan, atau mungkin malah berdebat soal makanan dan anak-anak baru mereka. Berputar-putar begitu saja. Leherku sampai sakit menunggunya. Sampai datang satu Cangak Abu lagi mengusir mereka bubar, bersamaan dengan aku bertemu Tutik si pejuang jalanan. [caption id="attachment_190074" align="aligncenter" width="630" caption="Tiga cangak abu sedang bercakap di tengah langit UGM. Foto diambil pada 12 Juni, tepat di hari bertemu dengan Tutik si pejuang jalanan."]

13404324691228039212

[/caption] Ke mana aku harus mengadu tentang mimpi-mimpiku? "Ke gunung!" kata bisikan itu. Siapa yang mengucapkannya? Di mana orangnya? Tak kelihatan. Lalu tertatih-tatih, kuikuti saja. Siapa tahu memang di gununglah aku dapat perlindungan dan tempat mengadu. Siapa tahu di sana ketemu orang bijak yang membenarkan langkahku. Atau yang menyuruhku berhenti sejenak menikmati keindahan alam tertinggi dari bumi yang nyaris menyentuh langit. Gunung yang tinggi. Aku mengenalinya meski kabut menutupi rupanya. [caption id="attachment_190076" align="aligncenter" width="630" caption="Kabut di Puncak Merapi. Gambar diambil pada pagi 21 April 2012. Dari sudut selatan."]

1340432842314861847

[/caption] Aku berjalan seharian sampai sore. Bertemu banyak wajah yang tak mengenaliku sedikitpun. Entahlah. Mungkin karena memang mereka tak pernah melihatku. Saat harapan itu hampir datang, dan kurasakan getaran yang memberitahuku jalan, langit tiba-tiba gelap. Gulungan awan turun semakin rendah, nyaris menyelimuti kepalaku. Aku berlari ke bawah atap, saat bumi semakin gelap. "Commulunimbus!" teriak seseorang. [caption id="attachment_190075" align="aligncenter" width="630" caption="Commulunimbus di atas Sleman, 21 April 2012."]

13404327081245327299

[/caption] Basah. Tak ada naungan. Tak ada jalan lagi. Lebih baik aku pulang dan tidur saja sampai hari berganti. Lalu bermimpi. "Seperti apa kau ingin melihat hidupmu kelak?" kata suara itu. "Seperti apa kau ingin ditulis dalam lembar sejarah kelak?" sambungnya. Aku tak berani membalas. Kata-kataku tak sampai ke sana. "Saat kau bangun nanti, udara yang kau hirup pertama kali adalah hadiah pertama buatmu. Memulai hadiah-hadiah manis yang akan berlanjut kemudian." Hadiah-hadiah manis. O, setidaknya aku suka yang manis seperti ceri atau buah kersen. Senyum dalam tidur. Entah bagaimana membuktikannya. [caption id="attachment_190078" align="aligncenter" width="630" caption="Ceri di telapak tangan. Dikutip pada 9 Juni. Mirip lukisan?"]

13404330741462805115

[/caption] Saat bangun, kemudian aku tersenyum jauh lebih lebar. Hatiku  jauh lebih senang. Merasakan setiap getaran dari jantung sampai ujung jari. Menyadari bahwa akhirnya aku melangkah keluar dari mimpi. Sesuatu yang lucu. Saat kaki-kaki kecilku kembali melangkah dan terseret di atas lantai, kusadari betapa indahnya langit dan bumi bagi seekor kura-kura sepertiku. [caption id="attachment_190080" align="aligncenter" width="630" caption="Hai, inilah aku. Gun si Kura-kura. Suka dengan ceritaku barusan? Foto diambil oleh pengasuhku yang keren itu, pada 12 April 2012 yang lalu. Entah hari apa itu."]

13404332211789477621

[/caption] Aku Gun. Kura-kura yang tak suka hujan. Sudahlah. Memang banyak yang bilang ceritaku lebih cocok masuk ke kolom fiksi daripada opini. Suka? :D

========================

Ditulis untuk Kampretos Weekly Photo Challenge: Fine Art Photography.

Silakan apresiasi karya fotografi lainnya di sana. Koleksi semakin banyak.

========================




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline