Lihat ke Halaman Asli

Puisi: Ibu

Diperbarui: 12 Oktober 2023   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

/1/
Ia menyapa hujan ketika hujan itu turun, ia menyapa panas ketika sengat terik, ia pun akan menyapa dingin ketika malam tiba meski genting-genting itu sudah rapuh dan membiarkan udaranya masuk.

/2/
Apakah ia bodoh? Hanya karena terlalu mencintai anak-anaknya yang entah akan berperan untuk menjaganya kelak atau tidak.

/3/
Setiap hari ia mencatat tetes air dari peluhnya, menghitung dengan cermat untuk kebutuhan esok. Tapi ada satu hari ketika ia lebih diam dari biasanya, namun tetap tersenyum di hadapan anak-anaknya. Apakah itu sesuatu yang terlalu berat untuk diberitahukan olehnya?

/4/
Ketika waktu berjalan begitu cepat, kelopak matanya yang berat sudah tak dapat menutupi lagi kesangsiannya terhadap hidup. Raut wajahnya yang semakin memudar telah jadi penanda bahwa pikul rasa tak sepikul raga. Dan aku akan tidak merasa berguna kalau bayi yang sudah kau rawat sampai sedewasa ini hanya akan menjadi orang yang sia-sia.

/5/
Tapi aku percaya, waktu memutar seperti katamu. Di saat yang tepat dan tanpa keharusan mengikutinya, hari itu akan datang dalam segala yang telah engkau doakan. Dan aku selalu berjanji untukmu,  "Aku tidak akan membiarkan mataku mengembara Ibu! Dan tinggal di kehidupan yang indah bersamamu."




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline