Lihat ke Halaman Asli

Asri Wijayanti

Penyintas Autoimun, Konsultan Komunikasi

Ruang Publik Ramah Lansia, Ruang Publik yang Ramah untuk Semua

Diperbarui: 30 September 2015   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ibu saya, yang dulunya aktif dan suka jalan-jalan, terkena stroke ringan sejak tahun 2011 silam. Setahun belakangan ini Ibu juga mengalami vertigo yang sering kambuh dan membuat beliau limbung kehilangan keseimbangan. Dengan keadaan ini, Ibu tidak mampu lagi berjalan jauh. Bila hendak pergi ke masjid atau mengikuti arisan di rumah tetangga yang agak jauh, ibu perlu berjalan sambil berpegangan pada orang lain karena roda di alat bantu jalannya tak bisa menggelinding mulus di jalanan yang tak rata permukaannya. Ibu yang dulunya sangat mandiri kini sangat terbatas mobilitasnya. Beliau kini hanya bisa bepergian dengan bantuan orang lain. 

Ibu saya tidak sendirian. Beberapa tetangga lainnya yang telah lanjut usia (lansia*) dan terkena stroke juga nyaris tak pernah lagi beraktivitas di luar rumah. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan pentingnya mobilitas bagi kebahagiaan dan kesejahteraan lansia.

Mengapa Lansia Perlu Ruang Publik yang Ramah 

Mobilitas manusia selalu terkait erat dengan ruang di mana ia berada. Bicara tentang ruang publik yang ideal untuk lansia, Fleuret dan Atkinson (2007) menjelaskan konsep ruang-ruang kesejahteraan (‘spaces of well-being’). Ruang yang tercipta dari interaksi individu dengan elemen-elemen material dan non-material ini memungkinkan mobilitas, pemenuhan kebutuhan diri, dan konstruksi sosial yang positif pada suatu kelompok sosial, termasuk kelompok lansia. Ruang seperti itu juga berkontribusi pada harga diri dan penghargaan yang imbal-balik; menyediakan perlindungan dari risiko sosial dan lingkungan, dan bisa membantu pemulihan fisik, mental, dan emosi.

Keterbatasan mobilitas membatasi peluang lansia dan orang-orang dengan kebutuhan khusus untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan, sehingga berdampak pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka. Penelitian Urry (2007), Kronlid (2008) or Shin (2011) yang dirangkum oleh Nordbakke dan Schwanen (2013) menegaskan bahwa mobilitas adalah fasilitator bagi terwujudnya kesejahteraan manusia. Kemampuan untuk bergerak, dan perjalanan yang dilakukan oleh manusia memungkinkan mereka untuk melakukan aktivitas di tempat-tempat yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan mereka, yang selanjutnya juga memungkinkan manusia untuk mengalami kebahagiaan atau mewujudkan potensi dirinya. Pergerakan manusia dapat meningkatkan kesejahteraan melalui berbagai cara, diantaranya melalui pengalaman yang membahagiakan, kemandirian, dan terbentuknya hubungan positif dengan orang lain.

Terus-terusan meminta bantuan orang lain juga berpotensi membuat lansia merasa tak berguna dan kehilangan harga dirinya. Ucapan “maaf ya, ibu/bapak merepotkan kamu terus”, atau “apa gunanya hidup lama-lama kalau kita selalu tergantung pada orang lain”, yang sering terdengar dari para lansia menunjukkan beratnya beban psikologis yang ditanggung para lansia ketika mereka merasa tak mampu melakukan banyak hal sendirian lagi. Padahal, bila ruang dan fasilitas publik memungkinkan mereka untuk mandiri, mereka bisa saja mengurangi ketergantungannya pada orang lain. Kebahagiaan dan harga diri mereka pun tetap terjaga.

Seperti Apa Ruang Publik yang Ramah Lansia?

Menurut Badan PBB untuk Pemukiman Manusia, UN-Habitat (2015), ruang publik meliputi ruang yang bisa diakses dan dinikmati oleh semua orang, tanpa tujuan untuk mengambil keuntungan. Ruang publik bisa berwujud taman, jalan, tepian jalan, pasar, dan tempat bermain. Sayangnya, meski penting untuk membentuk kota yang nyaman dan aman, keberadaan jalanan dan ruang publik yang ramah bagi semua orang masih sering terabaikan.

Ruang publik yang ramah lansia biasanya didukung oleh masyarakat yang juga ramah lansia. Di masyarakat seperti ini, layanan dan struktur yang berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial dirancang untuk membantu para lansia “menua secara aktif”; yakni lingkungan yang memungkinkan lansia untuk hidup dengan aman, memiliki kesehatan yang baik, dan dapat berpartisipasi di masyarakatnya (WHO, 2007).

Di masyarakat yang ramah lansia, layanan publik dan komersial dirancang agar mampu mengakomodasi berbagai tingkat kemampuan orang-orang berusia lanjut. Masyarakat seperti ini memiliki penyedia layanan yang ramah lansia, pejabat publik, pemuka masyarakat dan agama, serta para pelaku usaha yang memahami beragamnya kelompok lansia. Mereka mendorong keterlibatan dan kontribusi lansia dalam kehidupan masyarakat, menghormati keputusan dan pilihan hidup lansia, mengantisipasi dan merespon kebutuhan dan pilihan-pilihan yang behubungan dengan kondisi lansia.

Di negara-negara maju, seperti Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat, fasilitas yang mengakomodasi lansia dan orang-orang berkebutuhan khusus telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang publik. Untuk memastikan keamanan, kemudahan dan kenyamanan mereka, trotoar yang lapang dan mulus, tombol bantuan untuk menyeberang di zebra cross, tactile paving – semacam ubin bertekstur yang memandu para tunanetra untuk menemukan jalan yang aman dengan tongkatnya, elevator di stasiun kereta bawah tanah, ramp di jalur-jalur yang mendaki, area khusus untuk pemakai kursi roda di dalam bus dan kereta, hingga toilet berpintu lebar yang bisa dilalui kursi roda sangat mudah ditemui. Di Jepang bahkan ada situs Japan Accessible yang menyediakan peta dan informasi tentang ruang-ruang publik yang menyediakan fasilitas bagi orang-orang berkebutuhan khusus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline