Lihat ke Halaman Asli

Rindu Sekolah (Saat Pandemi)

Diperbarui: 6 April 2021   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Kala itu, sebuah ruangan sengaja ditutup rapat. Tujuannya, agar orang-orang yang berada di luar ruangan tidak bisa mendengarkan percakapan. Adalah aku seorang kepala sekolah baru, belum genap setahun lamanya memimpin sebuah sekolah swasta, harus puas dengan beragam aduan dari wali murid akibat adanya kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ.

Hari ini, aku beserta dewan guru lain sedang membahas pembelajaran di tahun ajaran baru. Tanpa panjang lebar memberikan pengantar, aku langsung meminta pendapat dari semua guru yang hadir.

"Sudah setahun lebih anak-anak tidak masuk sekolah. Tentu banyak dari anda semua yang mendapatkan aduan dari wali murid karena mereka kewalahan mendidik anak-anak di rumah... Pagi sampai sore mereka bekerja mencari nafkah, sedang di waktu malam mereka  mengajari anak-anak di rumah... Di sisi lain, mereka tetap wajib membayar SPP tiap bulannya. Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan ke depan agar aduan semacam ini tidak lagi terulang?"

Beberapa guru memandangku secara tajam, lalu usul demi usul menghiasi langit-langit di ruangan itu.

"Menurut hemat saya, sebaiknya kita harus menjalankan tatap muka. Sebab, beberapa wali murid sudah mengundurkan diri ke sekolah lain yang berani menjalankan tatap muka meski surat edaran dari Bupati dan Gubernur melarang pembelajaran tatap muka. Apabila kita tidak segera melaksanakan tatap muka, saya khawatir akan ada lebih banyak murid yang mengundurkan diri.  Hal ini akan berpengaruh terhdap pendapatan sekolah, khususnya pemberian gaji bulanan guru-guru di sini yang notabene bukan Pegawai Negeri." Ujar pak Ahmad.

 "Hal itu terlalu beresiko..." Ucapku dengan tegas.

"...Satgas COVID 19 masing-masing kecamatan tidak akan bertanggungjawab jika ada korban yang positif corona. Apabila sekolah ini benar-benar melakukan pembelajaran tatap muka, lalu ada yang terjangkit, maka citra sekolah kita akan menjadi buruk. Saya pastikan tahun ajaran depan banyak wali murid yang enggan menitipkan anak-anak mereka di sini karena kelalaian kita dalam menjalankan instruksi pemerintah. Kita dianggap tidak taat dan menghormati keputusan yang telah ditetapkan oleh provinsi, serta daerah."

"Tapi pak... Sekolah swasta lain berani mengadakan pembelajaran tatap muka."

Pak Ahmad bersikeras membantah jawabanku, namun aku tak bisa langsung menjawab sanggahannya. Harus kuakui bahwa beberapa sekolah swasta lain berani mengadakan pembelajaran tatap muka karena oknum-oknum di sekolah itu bermain mata dengan pejabat daerah, sehingga pembelajaran tatap muka menjadi legal. Aku tak tahu secara pasti apakah di dalamnya terdapat suap-menyuap atau sogok-menyogok, yang jelas sekolah-sekolah itu secara bebas mendatangkan murid dari berbagai kecamatan.

"Sebentar pak Ahmad, mengenai hal ini saya harus minta izin terlebih dahulu dengan satgas COVID 19 dan dinas pendidikan kecamatan."

Tanganku meraih HP, mencoba menghubungi dinas pendidikan. Dalam sebuah percakapan singkat, aku mencoba menjelaskan beragam usulan dari dewan guru di sini untuk mengadakan pembelajaran tatap muka seperti sekolah swasta lain. Sayang seribu sayang, dinas pendidikan kecamatan tidak berani memberi izin kepadaku untuk mengadakan pembelajaran tatap muka, kecuali sekolahku mau membayar sejumlah uang kepada sebagian dari oknum di sana agar izin tatap muka terkabul secara administratif dan seperti yang dilakukan sekolah-sekolah swasta lain di sini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline