Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Dua Persoalan Mendasar Pendidikan, Sampai Kapan Sanggup Bertahan?

Diperbarui: 11 Juni 2020   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: sejumlah murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sirna Asih, di Kampung Cisarua, Desa Banyu Resmi, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, sedang mengikuti kegiatan belajar-mengajar, Jumat (10/2/2017). Selama enam tahun, mereka terpaksa belajar di bawah tenda dan beralaskan tanah karena tidak adanya sekolah di sana. Sumber: KOMPAS.com/RAMDHAN TRIYADI BEMPAH

Sendainya kamu bisa bertemu Fir'aun apa yang akan kamu perbuat? Ini pertanyaan bukan untuk latihan menulis fiksi. Disampaikan saat proses belajar bersama siswa sekolah dasar kelas lima, kawan saya terbilang nekat.

Pertanyaan yang tidak lazim itu bisa mendatangkan protes orangtua, sesama guru, bahkan menggelisahkan Kepala Sekolah.

Siswa jangan diajak berkhayal yang tidak-tidak. Lebih baik membuat pertanyaan tertutup yang jawabannya pasti. Siswa tidak kesulitan menemukan jawaban karena sudah tersedia di buku pelajaran.

Sedangkan pertanyaan berjumpa Fir'aun itu bukan hanya pertanyaan terbuka. Ia melebar imajinatif dan bisa memancing aneka jawaban dan argumen. Itu kisah pengalaman kawan saya sekitar limabelas tahun yang lalu. 

Semalam ia bertandang ke rumah saya, curhat, berbagi perasaan gelisah. Apa yang digelisahkan limabelas tahun lalu masih berlangsung hingga kini.

Gaya Mengajar Konvensional
Saya tidak kaget. Teks book oriented begitu kuat mencengkeram pola ajar pendidikan di sekolah. Gaya mengajar yang bersifat satu arah masih jamak ditemukan. Siswa cukup setor telinga.

Ketika kita dipaksa belajar daring, teks book oriented dan gaya mengajar satu arah runtuh seketika. Gagap, tertatih-tatih, gamang menyikapi situasi belajar di tengah situasi yang tidak menentu.

Guru belum terbiasa menghadapi situasi yang tak terduga dan bisa berubah setiap saat. Akibatnya, pembelajaran online menjadi ajang pemberian tugas. Pola belajar secara terbimbing dan kolaboratif antara siswa dan guru belum sepenuhnya memenuhi harapan.

Permasalahan mendasar ini diperparah oleh ketersediaan infrastruktur digital yang masih minim dan tidak merata antar daerah. Beberapa guru di daerah pelosok harus mengunjungi rumah siswa untuk menemani mereka belajar. Proses belajar secara online akan terus berlanjut kendati new normal diterapkan di lingkungan sekolah. 

Pertemuan langsung antara guru dan siswa perlu dikurangi. Salah satu kebijakan new normal yang perlu diupayakan adalah mempersingkat waktu belajar di sekolah.

Siswa cukup belajar selama empat jam di sekolah. Jam belajar full day atau sekolah sehari yang menghabiskan delapan hingga sembilan jam patut dikoreksi ulang. Bukan zamannya siswa berlama-lama menghabiskan waktu di sekolah dalam tekanan belajar yang dipaksakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline