Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Sedemikian Rendahkah Kedermawanan Warga Kabupaten Jombang?

Diperbarui: 28 April 2020   01:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: lifestyle.kompas.com/DAILYMAIL.COM

Hari ini (Selasa, 21/4/2020) teman-teman Remaja Jagalan yang tergabung dalam Forum Pemuda-Pemudi Peduli Jagalan (FP3J) kembali beraksi. Mereka membagikan 150 masker, bantuan gelombang kedua, dari Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN Mojokerto. Dipilih tiga lokasi pembagian: perempatan desa Sambong, depan stasiun kereta api Jombang dan Universitas Darul Ulum (Undar).

Sehari sebelumnya mereka juga bergerak membagikan sembako untuk keluarga kurang mampu di kampung Jagalan.

Saya menyebut kepedulian ini sebagai conditioning Pra-Ramadan. Situasi dan kondisi yang mustahil ditemui kalau wabah Covid-19 tidak mengurung kita semua. Kita pun digiring menuju esensi puasa.

Sekadar menahan lapar dan haus anak kecil pun mampu. Namun, menyelami hakikat dan esensi puasa memerlukan daya tahan batin dan sikap tirakat yang total. Bukan sekadar menunda makan atau minum hingga waktu maghrib tiba, melainkan menghayatinya sedemikian rupa bahwa puasa menuntun kita pada kesadaran yang lebih hakiki.

Kebutuhan manusia ada batasnya. Adapun ambisi meraih kekayaan, nafsu berkuasa, serta sejumlah perilaku megalomania lainnya sungguh tidak kenal batas. Ia tak ubahnya api---membakar apa saja dan menjadikannya puing-puing arang.

Samudra hikmah bulan Ramadan yang dapat kita selami satu di antaranya, puasa meneteskan kesadaran tentang batas. Tahu diri. Paham kapasitas. Mengerti empan papan.

Kalau soal berbagi, Al hamdulillah, kita tidak pelit-pelit amat. Kita masih diberi rasa tidak mentolo atau tidak tega terhadap kesusahan dan penderitaan orang lain. Bahkan, sebelum Ramadan tiba, kita menyaksikan warga masyarakat bergandengan tangan, saling membantu dan saling menyokong di tengah kepungan wabah.

Di masyarakat pedesaan kita juga mengenal tradisi megengan, ater-ater, weweh, kenduren, bancakan weton. Semua ini bukti otentik bahwa setiap momentum yang di dalamnya memiliki makna, masyarakat berbagi kebahagiaan dengan orang lain.

Apapun nama dan tradisinya, kegiatan berbagi itu aslinya adalah "modifikasi" dari bentuk sedekah. Megengan misalnya, adalah kegiatan berbagi makanan, jajanan, kue menjelang bulan Ramadan.

Dahulu, jajanan khas yang dipakai megengan adalah kue apem. Mushola dipenuhi nampan yang berisi jajan apem dan tumpeng. Saking banyaknya jajan apem, zaman saya kecil dahulu, kue itu dijadikan peluru untuk main perang-perangan.

Tradisi megengan hingga kini masih berlangsung, walaupun bentuk jajanannya menyesuaikan selera manusia modern. Modifikasi jajan megengan mendapat sentuhan teknologi kekinian. Namun, hal itu tidak mengurangi makna kebahagiaan megengan menjelang bulan Ramadan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline