Indonesia mengalami gelombang demonstrasi besar dari 25-31 Agustus hingga September 2025, demonstrasi ini dipicu oleh komunikasi pejabat publik yang kontroversial dan di anggap tidak efektif. Pernyataan anggota DPR-RI yang menimbulkan kontroversi serta sikap pemerintah yang di anggap arogan dan tidak peduli dengan aspirasi masyarakat memperparah ketegangan ini.
Keywords and Entities. Source: Vero Asean
Demonstrasi ini memuncak ketika demonstrasi ini memakan korban yaitu Alm. Affan Kurniawan (21) yang dilindas oleh aparat negara (Indikasi Pelanggaran HAM), Human Rights Watch melaporkan penggunaan kekuatan berlebih, penangkapan sewenang-wenang, dan tindakan represif aparat terhadap massa aksi. Lalu diperparah dengan dengan pernyataan kontroversial Ahmad Sahroni, anggota DPR RI dan Wakil Ketua Komisi III yang mengatakan "Orang-orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai orang paling bodoh di dunia" sehingga menimbulkan kemarahan dan kritik dari masyarakat dan aktivis yang berujung pada penjarahan.
Source of Information for Indonesian Netizens on August-SeptemberDemonstration Issues (September 8-13, 2025). Source: Databooks.
Demonstrasi ini tidak hanya terasa di ranah sosial-politik, tetapi juga mempengaruhi stabilitas ekonomi , pasar modal bergejolak dengan IHSG menurun drastis pada puncak harga dan nilai tukar rupiah melemah sebagai akibat dari kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian politik. Ini menunjukan bahwa kegagalan pemerintah memengaruhi ekonomi nasional dan reputasi politik.
Dari apa yang terjadi bisa ditarik benang merahnya, bahwa pemerintah cacat dalam komunikasi dan selalu blunder dalam berkomunikasi yang mengakibatkan kemarahan masyarakat, tentunya ini berakibat fatal, karena citra yang di bangun selama bertahun-tahun akan hancur begitu saja akibat kecacatan tersebut. Prof. Nyarwi Ahmad, P.hD. juga menilai tindakan elite politik yang kerap kontroversial sebagai pemaksaan seseorang dengan tidak demokratis, sebagai contoh mentri yang membalas kritik publik mengenai tagar kaburajadulu dengan ujaran "kabur ajalah, kalau bisa tidak usah kembali" atau "Bukan Indonesia yang Gelap, tapi Kau yang Gelap" ini dinilai sebagai cerminan komunikasi pejabat yang defensif dan tidak beretika.
Gelombang demonstrasi 2025 menunjukan bahwa komunikasi pemerintah bukan hanya sekedar kata-kata, melainkan bagaimana cara beretika dalam proses penyampaian suatu pesan sehingga membangun kepercayaan dan legitimasi. Dari apa yang sudah terjadi pemerintah selalu blunder dalam berkomunikasi, sikap yang arogan, serta respon yang lambat dapat menghancurkan citra pemerintahan dengan mosi (tidak percaya). Pemerintah sebagai figur harus belajar ber-Etika dalam berkomunikasi, meningkatkan Responsif, Simpati, dan Empati terhadap masyrakat, serta belajar secara mendalam mengenai Ethic of Responsibility.
Karna pada dasarnya setiap kata dan tindakan pemimpin bukan sekedar urusan di dunia, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan YME. Tanpa Etika Tanggung Jawab, kekuasaan hanya jadi amanah yang dikhianati, dan doa rakyat yang terzalimi bisa menjadi saksi paling tajam di akhirat kelak, maka dari itu hendaklah kita memperhatikan tutur kata kita saat menyampaikan sebuah pesan di hadapan khalayak ramai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI