Gelombang protes tak terhindarkan melanda jagat media sosial dan komunitas pesantren pasca penayangan program di Trans7 yang menyoroti Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Tayangan yang dinilai satire berlebihan dan merendahkan martabat kiai serta tradisi pesantren ini sontak menuai kecaman keras.
Menanggapi kegaduhan yang berpotensi merobek tenun kebangsaan ini, Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, tampil dengan suara tegas dan penuh keprihatinan. Ia tidak menyembunyikan keterkejutannya atas cara media meliput kehidupan suci di lembaga pendidikan tertua ini.
Kejutan dan Pembelaan Marwah Tiga Abad
Dalam serangkaian pernyataannya, Menag Nasaruddin Umar mengungkapkan rasa syukur mendalam kepada pesantren atas dedikasi mereka selama lebih dari 300 tahun dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Baginya, pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, melainkan "laboratorium keadaban publik" yang telah melahirkan generasi yang sopan, taat, dan beradab.
"Saya kaget dan prihatin. Pesantren ini sudah ratusan tahun berjasa. Tidak pantas rasanya jika kedamaian dan marwahnya kini harus terusik oleh gambaran yang negatif," ujar Nasaruddin. Ia secara lantang membela tradisi pesantren, termasuk praktik penghormatan yang mendalam dari santri kepada kiai, yang seringkali disalahpahami atau bahkan disatirkan oleh pihak luar.
Energi Spiritual dari Kepatuhan dan Hormat
Nasaruddin Umar menyoroti aspek filosofis di balik tradisi-tradisi pesantren yang tampak "ekstrem" di mata awam. Ia melihat penghormatan santri kepada guru sebagai sumber energi spiritual yang vital. Rasa hormat tersebut, menurutnya, bukan hanya berhenti di gerbang pesantren, melainkan meresap menjadi etika berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
"Rasa hormat seorang siswa terhadap gurunya, itu adalah energi spiritual yang kemudian menjelma menjadi cara seseorang seharusnya memperlakukan orang tuanya, dan bahkan, bagaimana seorang warga negara memperlakukan pemimpin mereka," jelasnya.
Menag menekankan bahwa tradisi yang menanamkan kesantunan ini secara psikologis sangat sehat dan diperlukan untuk menjaga wibawa kepemimpinan kiai di pesantren---wibawa yang selama ini menjadi pilar moral bangsa. Jika "keadaban" yang diajarkan pesantren diusik, yang akan muncul di masyarakat adalah "kekurangajaran".
Pesan Tegas kepada Media dan Harapan Memaafkan