Lihat ke Halaman Asli

Aku Bangga dengan Bapakku

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku Bangga dengan Bapakku


Aku bangga pada almarhum Bapakku. Meskipun beliau lahir di desa, tidak pernah sekolah, dan harus kerja keras untuk menghidupi keluarga kami, beliau selalu mendorongku untuk sekolah setinggi-tingginya. Dan, Alhamdulillah, saya bisa memenuhi harapannya. Meskipun beliau tidak sempat menyaksikannya sendiri.

Bapakku dilahirkan di desa kecil di selatan kota Solo, desa Nguter namanya. Kira-kira 11 km sebelum Wonogiri. Bapakku adalah anak 'ragil' dari 16 orang saudara. Bapak lahir sebelum penjajah Jepang datang ke Indonesia. Ketika lahir bapak diberi nama 'Wagimin', pangilannya 'Min'. Kelak ketika dewasa namanya diganti menjadi 'Minto Pawiro'. Tetap 'Min' atau 'Minto' panggilannya.

Bapak kecil hidup susah di desa. Simbah hanya petani biasa. Ketika itu sudah ada sekolah, tapi Bapak tidak boleh sekolah oleh simbah. Kata simbah; kalau bapak sekolah tidak ada yang mengurus sapi-sapinya Simbah. Masa kecil bapak dihabiskan di sawah dengan sapi-sapinya.

Jadi anak petani di desa hidupnya susah. Kalau mau pergi ke mana-mana dengan jalan kaki. Bapak pernah cerita, ketika masih kecil diajak Simbah Wedok pergi ke Kartosuro. Kota yang jaraknya kira-kira 20km itu ditempuh dengan berjalan kaki pulang-pergi. Kalau capek berjalan, mereka istirahat di bawah pohon sambil minum atau makan bekal yang mereka bawa dari rumah.

Saya tidak sempat mengenal Simbah Kakung dan Simbah Wedok. Mbah Kakung meninggal sebelum saya lahir dan Mbah Wedok meninggal waktu saya umur satu tahunan. Semoga mereka diampuni semua dosa-dosanya dan diberi rahmat di alam kubur.

Ketika beranjak besar, kira-kira seumuran anak SD, Bapak mulai banyak keinginan. Namun, keinginan itu banyak yang tidak terwujud. Suatu ketika di hari lebaran Bapak minta dibelikan baju baru ke Mbah Wedok. Tapi Mbah Wedok tidak membelikannya. Bapak dijanjikan mau dibelikan baju nanti waktu 'bodo besar' (hari raya qurban). Bapak kecewa dan sakit hati. Lalu, bapak pergi dari rumah dan ikut kakaknya yang paling besar, Pak De Kromo, di Palur Solo.

Pak De Kromo orang kaya di desanya. Kerjaannya 'blantik' sapi. Sapinya Pak De Kromo banyak dan sawahnya luas. Sayangnya Pak De Kromo tidak dikaruniai anak. Bapak 'ngendong' di rumahnya Pak De. Kerjaan bapak  masih sama: 'angon sapi'.

Kerja 'angon sapi' tidak banyak memberi perubahan pada kehidupan Bapak. Bapak ingin bekerja di tempat lain, tapi Bapak tidak punya keahlian apa-apa. Bapak tidak sekolah, tidak punya ijazah, dan tidak bisa baca-tulis. Kalau pun mendapat pekerjaan, dapatnya pekerjaan yang 'kasar' juga. Bapak mencoba mencari kerjaan lain yang bisa memberikan uang lebih.

Akhirnya Bapak ikut tetangganya yang berjualan mi dan nasi goreng keliling. Setiap malam bapak ikut berjalan kaki keliling kampung-kampung untuk berjualan mi. Waktu itu angkringan mi-nya masih dipikul ke mana-mana. Bapak jadi pelayan yang pekerjaannya mencuci piring dan membuatkan minum.

Bapak memperhatikan cara tetangganya memasak mi dan nasi goreng. Di sela-sela waktu berjualan tetangganya sedikit-sedikit mengajari tip-tip memasak mi dan nasi goreng. Kurang lebih dua bulan bapak ikut tetangganya berjualan mi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline