Lihat ke Halaman Asli

Abel Pramudya

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

Jangan Sampai Kolam Susu Jadi Kolam Sampah

Diperbarui: 27 September 2019   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sampah plastik di lautan. Foto: Australia Plus ABC.

Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu.

Penggalan lirik lagu Kolam Susu milik grup band Koes Plus ini cukup menggambarkan kekayaan alam Indonesia, terutama kekayaan lautnya. Maklum saja, Indonesia dijuluki negeri maritim. Saking 'maritimnya' ada dua kementerian yang mengurusi bidang ini, Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kekayaan laut Indonesia pun bisa diadu dengan negara lain. Meskipun berada di posisi kedua negara dengan garis pantai terpanjang di dunia di bawah Kanada, Indonesia berada di peringkat pertama soal keanekaragaman hayati lautnya. 

Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial pada 2015 dengan luas wilayah perairannya melebihi 6 juta km persegi, luas wilayah Indonesia didominasi oleh lautan. Indonesia merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia dan sedikitnya 30 persen spesies mamalia laut hidup di perairan Indonesia. Indonesia juga menjadi habitat 6 dari 7 spesies penyu di dunia. Prestasi yang patut dibanggakan dan yang paling utama kekayaan ini harus diwariskan. Sebab, kalau tidak dilestarikan, bukan tidak mungkin penyu-penyu, mamalia laut, terumbu karang, dan biota laut lainnya hilang dari laut ibu pertiwi.

Tanpa disadari, laut Indonesia terancam rusak. Banyak sekali faktornya, mulai dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai, mengubah kawasan hutan bakau menjadi area tambak, industri, atau perumahan, reklamasi, penangkapan ikan secara masif, dan melepas jangkar di area terumbu karang, serta membuang limbah ke laut, tak terkecuali sampah plastik.

Banyaknya sampah plastik yang 'mengarungi' lautan mulai mendapat perhatian dunia. Sudah mulai banyak gerakan untuk mengatasi permasalahan ini. Lalu, apa sebenarnya dampak sampah-sampah plastik ini?

Setiap tahun, 5-13 juta ton plastik hanyut di lautan lepas dunia. Indonesia menyumbang 1,29 juta ton tiap tahunnya. Sampah plastik merupakan sampah nonorganik yang sulit untuk diurai oleh alam (bio degaradasi). Menurut DCA, pemakakan sedotan plastik di Indonesia memcapai 63 juta batang per hari. Pemakaian per bulannya sama dengan 5 kali panjang garis pantai Indonesia (503.522 km). Satu botol plastik yang hanyut di laut  saja butuh waktu setidaknya 450 tahun untuk dapat terurai. Itu pun tidak sepenuhnya terurai. Material plastik tersebut tidak hancur melainkan terpecah menjadi partikel yang lebih kecil berukuran 1 nanometer hingga 5 milimeter atau yang biasa disebut mikroplastik.

Ukuran yang sangat kecil tersebut dapat masuk ke tubuh ikan-ikan atau biota laut lainnya dan tentu saja berbahaya bagi mereka. Resikonya mengancam nyawa. Jangankan mikroplastik, sampah plastik seperti botol, kantong plastik, atau bungkus makanan pun sering ditemui di perut hewan laut yang mati.

Menurut sebuah penelitian, 1 dari 3 ikan di laut Indonesia terkontaminasi plastik. Ketika kita mengonsumsi ikan-ikan tersebut secara tidak langsung kita pun memakan plastik. Lalu, apa jadinya?

Dikutip dari detiknews.com, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan sampah plastik di tubuh ikan dapat terurai menjadi merkuri, dan ketika disantap manusia dapat menyebabkan kanker, alergi, hingga mutasi gen manusia. Bagaimana? Mengerikan bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline