Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Agama Pasca Pandemi

Diperbarui: 31 Oktober 2021   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis buku

Manusia Indonesia sedang di ambang "kemerdekaan" dari pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo sudah banyak dimintak segolongan orang untuk menentukan kalau pandemi Covid19 berakhir. Dimana-mana di negeri ini, tampak mereka mulai menunjukkan euforia sebagai bangsa yang terbebas dari "penjajahan". Sekitar 2 tahun dicengkeram Covid-19 terasa seperti berabad-abad lamanya menjalani hidup dalam kesengsaraan. Dalam ranah ini, diantara mereka bahkan masih bisa menyalahkan kondisi ini sebagai akibat campur tangan agama.

Manusia memang terbiasa gampang menyalahkan agama saat diriya sedang menghadapi  banyak masalah,  yang katanya agama sudah dipeluk dan dibela dengan banyak pertaruhan, masih juga memberikan cobaan dengan berbagai virus, padahal manusia sehUarusnya paham kalau eksistensi virus ini wujud reinstalisasi dirinya. Yakni diri manusia yang bersalah serius akibat mendegradasi "kehidupan Tuhan" dalam dirinya

Manusia yang berbuat jahat berklaster serius pun masih mencari logika pembenaran dengan memosisikan kalau apa yang dilakukannya atas perintah "takdir", artinya dirinya berdalih apa yang diperbuat sebenarnya bertentangan dengan hatinya, tetapi agama (tuhan) sudah memerintahkan. Manusia jenis seperti inilah yang membuat agama menjadi sperti kehilangan makna atau kekuatan sakralitasnya di tengah masyarakat, padahal manusia selaku subyek agama inilah yang menjadi actor terjadinya reduksi hingga degradasi citra agama.

Apa yang disampaikan Benjamin Franklin berikut bisa dijadikan pijakan atas logika manusia itu, "jika manusia masih tetap jahat dengan adanya agama, bagaimana lagi jika tiada agama?"

Franklin melihat atau membayangkan seandainya manusia menjalani hidup ini tanpa agama,  Ia mendeskripsikan adanya suatu realitas sosial beratmosfir kengerian yang luar biasa. Kengerian ini bisa bertahan dan berkembang jika manusia mengelola atau terlibat dalam ragam kehidupan bermsyarakat dan bernegara yang kompleks.

Mulai dari atmposfir chaos, dehumanitas, hingga destruksi masif ekologis bisa terjadi dan berkembang ketika agama "sekedar" sebagai kebutuhan  instan, pragmatis,  atau instrumen yang ada untuk memenuhi kebutuhan formalisasi birokratis dan kepentingan eksklusif manusia.

Franklin itu mengisyaratkan kalau dalam diri manusia ini ada potensi berbuat jahat dan "menyuburkan" penyimpangan, disamping potensi kebaikan. Disinilah agama sejatinya mendapatkan kepecayaan mengawal atau mengontrol supaya manusia tidak melakukan dan mengembangkan kejahatannya dan sebaliknya memenangkan kebaikan.

Franklin itu juga bermaksud mengingatkan secara radikal pada kaum beragama, bahwa berbuat jahat atau mendehumanisasikan sesama itu tidak mencerminkan dirinya sebagai "keluarga Tuhan". Menjadi "keluarga Tuhan" tentu saja dengan syarat kalau dirinya berhasil membentuk dirinya jadi subyek beragama yang baik.

Dalam konstruksi logika, dunia dan peradaban ini ditentukan oleh sikap atau perilaku setiap manusia. Salah satu sikap atau perilaku yang ikut menentukan dan mewarnainya adalah  kesantunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline