Lihat ke Halaman Asli

Em Amir Nihat

Penulis Kecil-kecilan

Surat Keempat untuk Andini, Hujan di Hatiku

Diperbarui: 9 Januari 2018   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lagi-lagi hujan semakin deras saja, Andini. Sangat deras bahkan yang bisa aku dengar selama subuh hingga kini hanyalah nyanyian hujan yang menari-nari kesana kemari. 

Entah ia akan membawa rahmat atau petaka tetapi yang jelas rumahku sudah dikelilingi banjir air hujan. Sungai meluap saking tidak mampu menampung genangan air hujan sebab curah hujan memang tinggi sekali. Kadang aku berfikir kenapa hal ini sampai terjadi, tetapi bagaimanapun juga ini adalah tulisan Tuhan maka akupun tidak bisa mengelak dan pasrah saja.

Masalah lain muncul, Andini. Konsisten mencintaimu adalah impianku namun ada dalam diri ini yang membuat aku pengin muak saja, ada perasaan lain saat aku mendekap dalam kebaikan apalagi jika dilihat oleh umum. 

Merasa benar dan berwibawa padahal hanya sampah. Aku sampah yang terbuang dan dipungut oleh keindahan sinarmu, Andini. Aku banjir bandang yang dengannya aku hanyut dan tenggelam ke muara cintamu. Apakah kamu menyadari itu, Andini?

Namun jika aku mengingat semesta dan gubahanNya, aku ketawa sendiri. Cekikian. Bahkan sampai termengehek-mehek kalau ingat bahwa kehidupan ini adalah sandiwara yang dirancang dengan matang dan penuh njlimet oleh dalang kehidupan. 

Belum lagi, faktor-faktor benar dan salah yang menggerakan jalan sanubari setiap insan. Aku dari sisa-sisa keputusasaanku mencoba mengais sedikit demi sedikit sastrajendra yang dengannya aku menyadari setitik buih yang menjadi seluruh buih bahkan hanya buih itu sendiri.

Aku ingin mengingatmu lagi, Andini. Mengingat saat-saat kita kecil dulu. Ketika masalah terbesar bagi kita hanyalah pelajaran matematika dan saat dua hati merindu serindu-rindunya. 

Aku sangat ingin mengulang hal itu dengan lengkap, Andini. Lengkap dengan senyuman indahmu, parasmu yang cantik dan kepribadianmu yang sangat baik. Betapa hari-hari itu akan terkenang selamanya bagiku meskipun mengenangmu hanya akan membuat hati ini semakin bersedih.

Hujan belum mau berhenti dari pestanya, hujan belum mau tidur dari permainanya, ia seperti manusia yang menangis sepanjang hari dengan tidak perduli manusia lainnya. Banjir, sawah tenggelam, rumah yang sebentar lagi ambruk karena genangan air sudah memasuki rumah, atau para penduduk kampung yang terasing dari dunia luar sebab hanya akan menjadi pejalan rumah sepanjang hari. 

Begitulah hujan Andini. Tetapi jangan sampai kita membenci hujan, sebab bagaimanapun ini adalah sastra Tuhan buat manusia. Kita bisa apa, Andini?

Hati ini tetap saja terpaut padamu. Entah ini ge-er yang berlebihan atau gimana namun saat melihat atau mengenang dirimu ada rasa bahagia dalam hati. Kebahagiaan ini tidak bisa digambarkan atau ditulis lewat kata-kata dalam surat ini, Andini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline