Di mataku kebenaran relatif berkedip sebagai purnama yang meredup. Di sebelahnya ada bintang berjajar kau serupa denyut nadi yang ikut-ikutan bersuara.
Aku adalah gemetar suara Ayah. Juga air mata ibu yang gemetar saat kunang-kunang menggigil dalam rerimbunan doa yang tersesat di langit.
Oh, sejauh ini aku barangkali saja aku kembali hidup kataku. Tetapi kalian selalu punya birahi yang siap dimuntahkan sebagai pengintai sunyi pusara kematian.
**
Ruh-ruh selalu pulang sebagai kekuatan hati yang kehilangan tubuh. Selamanya begitu. Serapuh-rapuhnya begitu. Dasar kalian tak punya otak, apalagi nyali.
Bungkam. Bungkam saja semua teriak yang menggenangi malam. Fajar selalu terang. Hari selalu terang. Matahari selalu terang. Kecuali dasar hati.
Saat aku berontak lagi, lantas moncong dingin pelurumu mencumbuku sebagai pelipis yang dibentur tengah malam. Tubuhku adalah tanah yang kau injak-injak.
Kupang, 2019