Langkahku terhenti di bawah rimbun pepohonan pinus…
Udara dingin membelai,Â
nan berangsur menjadi hangat;
karna sapa bapak bersorban penjaja bunga
karna bau khas dupa beragam sesaji
dan di belakangnya,Â
tampak lampion-lampion bergelantungan
bersanding damai dengan lonceng dan irama shahdu adzan berkumandang
Di tengah meningkatnya ketegangan antarumat beragama di berbagai belahan dunia, ada hal menarik yang dapat kita temui di Keraton Gunung Kawi, dusun Gendogo, Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang.Â
Hingga kini, tempat wisata religi yang berada di ketinggian 2860 mdpl ini menjadi contoh nyata harmoni dan toleransi. Tempat ini bukan hanya destinasi ziarah atau wisata religi, melainkan ruang hidup yang mempersatukan berbagai keyakinan.Â
Keraton Gunung Kawi yang berada di area gunung Pitrang, dan berjarak 30 kilometer dari kota Malang ini dikenal sebagai tempat meditasi, berdoa, dan pemujaan dengan lima tempat ibadah; pura, vihara, mushola, dan gereja kecil yang berdampingan. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi bukan sekadar konsep, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. Ini adalah potret damai yang patut dijadikan inspirasi.
Sejak Abad ke-10
Keberadaan Keraton Gunung Kawi memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak abad ke-10 Masehi. Berdasarkan prasasti Batu Tulis, Keraton Gunung Kawi ini sudah ada sejak tahun 861 Saka dan diyakini didirikan oleh Mpu Sindok sebagai tempatnya laku spiritual atau bertapa.
Mpu Sindok yang mempunyai nama asli Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa ini adalah seorang penguasa Mataram pada masa dinasti Syailendra yang memiliki hubungan erat dengan berbagai tradisi spiritual di Keraton Gunung Kawi. Ia memindahkan kerajaan Mataram atau Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur ketika terjadi konflik perang dengan kerajaan Sriwijaya dan bencana gunung meletus.
Di tempat ini Mpu Sindok menanam lima pohon beringin yang di tengah-tengahnya terdapat satu batu gunung untuk laku tapa. Tempat ini digunakan sebagai tempat spiritual, dan meditasi bagi Mpu Sindok yang kemudian dilakukan oleh beberapa raja lainnya, seperti Prabu Sri Kameswara dari Kerajaan Doho Kediri (abad XII) yang menyepi dan mengharapkan berhentinya kekacauan dalam kerajaannya.
Namun setelah kekacauan di kerajaannya teratasi, ia memilih mundur atau turun tahta dan kembali ke Keraton Gunung Kawi untuk melakukan tapa pendem hingga moksa (menghilang secara spiritual) seperti halnya Mpu Sindok.