Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Kolonialisme Karbon

21 Juni 2025   01:17 Diperbarui: 21 Juni 2025   01:17 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generated by Dall-E

Januari 2025, Indonesia diam-diam melangkah lebih dekat untuk menjadi kuburan karbon global. Menyusul pertemuan pejabat tinggi antara Indonesia dan Singapura, sebuah rencana kontroversial kembali hidup: jutaan ton emisi karbon dari pembangkit listrik Singapura akan disimpan di perut bumi Indonesia.

Meski diklaim sebagai bagian dari strategi regional menuju target nol emisi, rencana ini mencerminkan tren yang berbahaya: negara maju melimpahkan beban lingkungan mereka kepada negara-negara berkembang dengan dalih teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage atau CCS).

CCS digembar-gemborkan banyak pihak sebagai solusi ajaib mitigasi perubahan iklim. Indonesia pun telah merangkul teknologi ini dengan penuh semangat. Dengan kapasitas penyimpanan karbon hingga 500 gigaton CO2, Indonesia menjadi magnet bagi negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang sedang berburu lokasi penyimpanan emisi guna menghindari pajak karbon. Pemerintah bahkan telah menandatangani kesepakatan awal untuk menyimpan hingga 25,5 juta ton karbon per tahun dengan potensi investasi sebesar 28 miliar dolar AS.

Namun, janji investasi besar ini menyimpan ancaman serius. Indonesia berisiko menjadi korban gelombang baru "kolonialisme karbon", di mana beban mitigasi perubahan iklim---mulai dari risiko geologi, kerusakan lingkungan, hingga konflik lahan---dialihkan dari negara-negara kaya ke negara berkembang. Ini mengingatkan pada pola kolonialisme ekstraktif di masa lalu, saat negara-negara kaya mengeksploitasi sumber daya negara berkembang sambil meninggalkan dampak ekologis yang merugikan.

Risiko tersebut bukan sekadar teori. Kondisi geologi Indonesia yang rawan gempa membuat risiko kebocoran karbon yang disimpan semakin nyata. Berbeda dengan negara maju yang memiliki teknologi pemantauan dan mitigasi canggih, kapasitas institusional Indonesia masih dipertanyakan dalam menghadapi tantangan jangka panjang ini.

Lebih jauh lagi, narasi CCS juga menjadi alasan bagi industri untuk terus menggunakan bahan bakar fosil. Alih-alih menghentikan produksi emisi, CCS justru dijadikan dalih untuk tetap mengoperasikan PLTU batu bara dan sumur minyak.

Pemerintah bahkan telah mundur dari rencana awal mempensiunkan PLTU batu bara, menggantinya dengan argumen "PLTU plus CCS" sebagai jalur menuju emisi nol bersih. Ini jelas bertentangan dengan prinsip Perjanjian Paris yang meminta penghentian bahan bakar fosil, bukan melanggengkannya dengan teknologi mahal.

Masalah lain adalah penghitungan emisi. Organisasi seperti Greenpeace mengingatkan bahwa proses transportasi dan injeksi karbon juga menghasilkan emisi tambahan. Tanpa penilaian siklus hidup yang transparan, Indonesia bisa terjebak dalam situasi paradoks: mengklaim pengurangan emisi, tetapi justru menghasilkan lebih banyak emisi secara keseluruhan. Praktik ini juga membuka pintu bagi greenwashing: perusahaan asing membayar untuk menyimpan karbonnya, mempertahankan citra hijau tanpa benar-benar bertransisi ke energi bersih.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketidakjelasan dalam aturan mengenai siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kebocoran karbon. Regulasi seperti Peraturan Presiden No. 14/2024 dan Permen ESDM No. 16/2024 belum cukup tegas mengatur aspek ini.

Di negara-negara seperti Norwegia dan Australia yang berpengalaman dengan CCS, dana besar disiapkan untuk asuransi dan pemantauan jangka panjang, namun proyek besar seperti Gorgon di Australia pun masih menghadapi berbagai kendala. Indonesia harus belajar dari pengalaman tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun