Antara Mie, Air Mata, dan Harga Diri yang Tak Boleh Roboh
Kisah Seorang Anak Rantau dengan Uang Pa-pasan dan Tekad yang Tak Pernah Surut
Pernahkah kamu membayangkan seperti apa rasanya menjadi anak rantau dengan uang yang pas-pasan?
Bukan sekadar soal menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, bukan cuma soal jauh dari orang tua, bukan hanya tentang mencoba makanan asing atau belajar logat daerah lain. Lebih dari itu, menjadi anak rantau adalah tentang bagaimana bertahan hidup di kota yang tidak pernah benar-benar tidur dan tidak pernah sepenuhnya memelukmu sebagai bagian dari mereka.
Awal yang Penuh Harap
Aku masih ingat saat pertama kali menginjakkan kaki di terminal kota ini. Suasana begitu ramai, hiruk-pikuk, dan asing. Di punggungku ada satu ransel besar berisi pakaian, baju batik untuk ibadah minggu, buku-buku, dan... sebungkus mie instan yang ibu masukkan diam-diam, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan: "Kalau lapar dan uang habis, makan ini ya. Mama sayang kamu."
Tanganku menggenggam amplop berisi uang pemberian ayah hasil kerja serabutan beliau di ladang orang lain. "Buatmu makan seminggu dua kali sehari, ya. Jangan jajan aneh-aneh," pesan beliau saat melepas kepergianku. Saat itu, aku mengangguk sambil menahan air mata, sebab aku tahu, untuk mengumpulkan uang itu, ayah tidak makan ayam selama sebulan.
Aku datang ke kota ini bukan untuk gaya-gayaan. Bukan untuk sekadar kuliah atau mencari teman sebanyak-banyaknya. Aku datang untuk mengubah nasib. Aku membawa harapan satu keluarga, bahkan mungkin satu kampung. Aku tidak boleh gagal.
Hari-Hari yang Tak Selalu Ramah
Tapi siapa sangka, hidup merantau ternyata tak seindah bayangan. Di minggu pertama, aku sempat menyesal datang ke sini. Aku tidur di kos kecil yang dindingnya lembab dan kasurnya tipis. Kamar mandi bersama, air harus antri. Setiap malam aku mendengar suara tangisan dari kamar sebelah. Mungkin dari teman seangkatanku juga yang sedang rindu rumah.
Aku mulai menghitung pengeluaran. Uang bulanan hanya cukup untuk bayar kos, beli beras dua kilo, minyak goreng, telur satu rak, dan sisa sedikit untuk kebutuhan darurat. Tak ada ruang untuk jajan boba, nongkrong di kafe, apalagi ikut konser seperti anak-anak lain. Bahkan, aku harus berpikir dua kali untuk beli sabun cuci atau pulsa internet.
Aku mulai berjualan pulsa dari HP jadulku. Kadang ikut bantu teman fotokopi makalah mereka, hanya untuk tambahan lima ribu. Pernah juga jadi MC acara kampus agar bisa makan prasmanan gratis. Semua aku lakukan dengan senyum, walau kadang hati ingin menjerit.
Tapi ada satu yang selalu kujaga: harga diriku. Aku tidak ingin dikasihani. Aku tidak ingin teman-teman tahu kalau aku sering makan nasi dengan kecap dan kerupuk karena tak ada lauk. Aku menolak menjadi beban bagi orang tua di kampung. Mereka sudah cukup susah.
Ketika teman sekelas pulang kampung saat libur semester, aku hanya bisa tersenyum sambil berkata, "Aku lagi banyak tugas," padahal sebenarnya aku tak punya ongkos untuk pulang. Tapi aku tetap bangga karena aku sedang belajar tentang hidup. Tentang kuatnya hati manusia saat bertahan dalam keterbatasan.
Pelajaran Hidup dalam Diam
Menjadi anak rantau mengajarkanku bahwa hidup tak selalu adil, tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Bahwa kamu bisa jatuh berkali-kali, tapi kamu juga bisa memilih untuk bangkit.