Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Saat Wadah Plastik Lebih dari Sekadar Tempat Simpan Makanan

18 April 2025   14:31 Diperbarui: 21 April 2025   08:59 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi emak-emak dengan Tupperware (Sumber: Leonardo AI)

"Tupperware mungkin tutup bisnisnya, tapi kenangan tentangnya masih tertata rapi di rak memori kita—seperti tutupnya yang selalu klik sempurna."

Kabar bahwa Tupperware Indonesia tutup sempat membuat jagat media sosial riuh rendah. Bukan karena kita kehabisan stok tempat menyimpan kue kering lebaran. Tapi karena banyak dari kita—secara mengejutkan—punya kenangan yang cukup dalam dengan benda bernama Tupperware.

Anehnya, saat membaca berita itu, bukan katalog diskon yang terbayang. Tapi Ibu. Atau tante. Atau tetangga sebelah yang jualan Tupperware dari pintu ke pintu. Rasanya, ada sepotong kenangan rumah tangga yang ikut gugur bersama tutup wadah oranye itu.

Tupperware dan Budaya Emak-emak

Mari jujur, di era 90-an hingga awal 2000-an, memiliki Tupperware bukan cuma soal fungsi. Tapi juga gengsi. Di antara panci alumunium dan toples murahan dari pasar, Tupperware berdiri gagah—warna-warni, elegan, dengan penutup klik yang memuaskan.

Dikutip dari CNBC Indonesia, Tupperware sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1991 dan berkembang pesat lewat sistem penjualan langsung, menjadikannya bukan hanya barang rumah tangga, tapi juga peluang usaha bagi banyak ibu rumah tangga.

"Kalau air nggak tumpah walau dibalik, itu pasti Tupperware," begitu kata ibu saya dulu. Ada semacam kepercayaan, bahwa Tupperware adalah bukti cinta seorang ibu pada dapur dan anak-anaknya. Karena hanya ibu-ibu berhati besar yang bersedia mengeluarkan uang ratusan ribu demi tempat bekal anak-anak.

Kenapa Tupperware Bisa Tutup?

Sebagai merek yang pernah begitu mendominasi, kejatuhan Tupperware tentu membuat kita bertanya-tanya. Apa yang salah?

Dikutip dari The Guardian, Tupperware secara global memang menghadapi krisis serius. Saham perusahaan jatuh hampir 50% tahun lalu, dipicu oleh kesulitan keuangan dan model bisnis yang tak lagi relevan dengan zaman.

Model penjualan langsung—yang dulu efektif—kini kalah cepat dengan e-commerce dan social media marketing. Ditambah lagi, banyak pesaing bermunculan dengan harga lebih miring dan desain tak kalah menarik. Bahkan, wadah-wadah lucu dari brand Korea yang bisa dibeli lewat marketplace menjadi kompetitor tak terhindarkan.

Dilansir dari Katadata, Tupperware sempat mencoba rebranding dan menyasar generasi muda, namun daya tariknya sudah tidak sekuat dulu. Upaya digitalisasi pun dinilai terlambat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun