Pekerjaan Rumah merupakan tugas yang dibebankan kepada pelajar dengan harapan dapat mengulang kembali pelajaran di sekolah.Â
Setiap guru memberi penilaian pada siswa yang telah selesai mengerjakan PR. Penilaian tersebut didasarkan pada tanggung jawab siswa untuk mengerjakan PR di rumah dengan tekun dan bersungguh-sungguh.Â
Namun, kenyataan di lapangan banyak siswa yang keberatan dengan skema "Pekerjaan Rumah". Beberapa siswa, terutama siswa saya sendiri mengeluhkan karena setiap guru sudah memberi PR yang menurut mereka sulit.Â
Saya, sebagai guru menganggap PR adalah salah satu alternatif untuk membujuk siswa agar mau membuka kembali pelajaran di kelas, begitu tiba di rumah.Â
Akan tetapi, mekanisme sekolah yang mengatur siswa masuk jam 7 dan pulang jam 4, membuat siswa menjadi kelelahan atau bahasa kerennya burnout.Â
Terlebih lagi, ketika di rumah tidak ada dukungan moral dari orangtua agar anak mengecek kembali tugas-tugas sekolahnya. Hal ini akan menjadi kebiasaan, sehingga PR, walaupun hanya sedikit dan mudah dikerjakan, siswa akan tetap mengeluh dan keberatan.Â
Saya memandang fenomena semacam ini sebagai lompatan zaman. Mungkin, dulu saat saya masih berstatus sebagai siswa, PR adalah bagian dari kewajiban yang harus saya penuhi.Â
Sebelum orangtua saya menanyakan tugas hari ini, saya harus menyelesaikan PR dari guru-guru di sekolah agar dapat meminta orangtua saya mengoreksi jawaban PR saya.Â
Tentu saja kebiasaan semacam itu tidak lagi dapat diharapkan pada anak-anak zaman digital. Mengerjakan PR menjadi sesuatu yang berat, karena mereka (kebetulan siswa/i saya di tingkat SMA) harus menunda kegiatan main Tiktok atau Instagram sampai PR selesai dibuat.Â
Anak zaman sekarang tidak dapat menahan diri untuk tidak membuka media sosial dan menelusuri "What's New?" dari akun sosialnya.Â
Kecenderungan semacam itu yang melunturkan keinginan siswa untuk belajar atau sekadar mengerjakan PR di rumah.Â