Akhir tahun pelajaran tiba. Momen kelulusan, kenaikan kelas, dan ucapan terima kasih jadi pemandangan yang sering kita lihat di sekolah-sekolah.Â
Salah satu tradisi yang gak jarang muncul, Â wali murid ngasih hadiah ke guru. Mulai dari bunga, bingkisan, sampai amplop. Tapi, pertanyaannya, ini hadiah tulus atau bentuk "suap halus"?Â
Dan kalau hanya guru tertentu yang dapat, sementara guru lain enggak, apa enggak menimbulkan iri dan polemik internal?
Dari sisi Islam, memberi hadiah itu boleh bahkan dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda, "Tahaaduu tahaabbuu" --- salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai (HR. Bukhari).Â
Hadiah bisa jadi bentuk apresiasi, cinta, dan terima kasih atas jasa seseorang. Termasuk guru, yang tiap hari bersabar membimbing anak kita, walau kadang harus ngadepin murid yang super aktif bahkan ngeyel.Â
Hadiah itu sah-sah aja, asalkan niatnya murni: bukan buat "melicinkan" nilai atau "memikat" perhatian agar anaknya diistimewakan.
Tapi, Islam juga sangat tegas soal keadilan dan niat tersembunyi. Dalam hadis riwayat Abu Daud, Rasulullah pernah menegur seorang petugas zakat yang menerima hadiah dari masyarakat, padahal dia diberi tugas negara.Â
Hadiah dalam konteks itu bukan lagi hadiah, tapi potensi gratifikasi atau suap terselubung. Apalagi kalau momentumnya pas banget: sebelum pembagian nilai, atau ketika ada persaingan ketat masuk sekolah lanjutan.
Nah, ini yang kadang jadi titik kritis. Kalau hadiah diberikan ke guru kelas atau wali kelas, sedangkan guru-guru lain yang juga ngajar anak itu gak dapat, bisa muncul rasa gak enak.Â
Apalagi kalau yang dikasih hadiah sampai dapat perlakuan istimewa---jadi polemik di lingkungan sekolah. Muncul kecurigaan: "Ini hadiah atau kode keras?"