Donna menempelkan dahinya ke kaca jendela, matanya menerawang ke langit yang mulai berwarna jingga. Samarinda sore itu terasa lengang, lebih sunyi dibandingkan Ramadhan di rumah nenek tahun lalu. Ia merapatkan tangannya ke kaca yang mulai dingin, mendesah pelan. Tanpa keluarga besar di sekeliling, tahun ini terasa berbeda. Namun, ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar: ini adalah Ramadhan pertamanya mencoba berpuasa penuh.
Sejak sahur tadi, tantangannya sudah terasa. Mata masih lengket, mulut ingin protes saat Ambu membangunkannya, tetapi melihat Widya, atau Teteh, sudah duduk di meja makan dengan mata berbinar, ia tak mau kalah. "Ayo, Nak," kata Ambu, menyodorkan segelas susu. "Hari ini Donna mau sampai kapan?"
"Maghrib!" seru Donna, meski dalam hati masih ada keraguan. Ia tidak ingin kalah dari Teteh, meskipun bayangan haus dan lapar sudah menghantuinya sejak dini hari.
Hari berjalan dengan pelan, seolah waktu mempermainkannya. Ketika azan Zuhur berkumandang, perutnya mulai berontak. Ia merajuk, menghempaskan badannya ke sofa. "Ambu, boleh buka nggak?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.
Ambu menatapnya dengan lembut. "Boleh, kalau Donna merasa tidak kuat. Tapi kalau bertahan, Donna bisa belajar sesuatu yang lebih besar dari sekadar lapar dan haus."
Donna termenung. Teteh yang sudah terbiasa hanya tersenyum, menggoda adiknya dengan canda, "Kalau bertahan, nanti bisa makan es buah paling banyak!"
Mata Donna berbinar. Ia menggigit bibirnya, berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa lapar. Ia ingin merasakan kemenangan kecil seperti yang selalu diceritakan Ambu, kemenangan menaklukkan dirinya sendiri.
Dalam keluarga kami, Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga. Ini adalah waktu ketika kami bersama-sama menciptakan kenangan. Donna dan Teteh tidak hanya belajar berpuasa, tetapi juga ikut membantu Ambu membuat kue Lebaran. Adonan kastengel dan nastar diuleni dengan tangan kecil mereka yang masih belajar, tepung berhamburan di meja, dan tawa memenuhi dapur.Â
Sore hari, bau mentega dan gula memenuhi rumah. Donna dan Teteh sibuk membantu Ambu membuat kue Lebaran. Telapak tangan mereka penuh tepung, adonan nastar berbentuk tak beraturan berjejer di loyang. Donna tertawa melihat bentuk kue yang dibuatnya jauh dari sempurna.
"Nggak apa-apa, ya, Ambu?"