Paskah bukan sekadar momen keagamaan tahunan. Ia adalah pusat dari iman Kristen---peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dari kematian, sebagai penakluk maut dan sumber harapan baru bagi dunia yang rusak. Namun, bagaimana makna kebangkitan itu diterjemahkan ke dalam konteks kita hari ini? Khususnya di Indonesia, negeri yang dikasihi Tuhan, tetapi sedang menghadapi darurat literasi: anak-anak SMP yang belum bisa membaca lancar, sekolah-sekolah yang kehilangan makna, dan sistem pendidikan yang seringkali gagal menjadi terang.
Kita tidak bisa memisahkan kebangkitan dari penderitaan. Sebelum Yesus bangkit, Ia terlebih dahulu mengalami jalan salib---penuh luka, ditinggalkan, dipukul, disalib.Â
Inilah gambaran paling jujur tentang realitas: bahwa kebangkitan tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi lahir dari penderitaan yang nyata. Dan bukankah ini juga yang dialami oleh banyak anak-anak di Indonesia?Â
Mereka memikul salib kemiskinan, terbatasnya akses, dan kurikulum yang tidak berpihak. Banyak dari mereka bahkan datang ke sekolah hanya untuk dicatat kehadirannya, tetapi pulang tanpa pengertian, tanpa kemampuan membaca, tanpa harapan.
Menurut data dari berbagai survei pendidikan, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal kemampuan literasi dasar. Akhir-akhir ini banyak pemberitaan mengenai sebagian besar siswa SMP tidak bisa membaca.Â
Pengalaman saya selain menemukan siswa SMP yang belum bisa membaca, banyak juga yang tidak mampu memahami teks bacaan sederhana. Ini bukan hanya angka---ini adalah wajah anak-anak yang kita temui di sekolah, di desa, bahkan di lorong-lorong kota. Ini adalah wajah dari sistem pendidikan yang telah gagal menghidupkan makna belajar.
Di sinilah Paskah menjadi relevan. Kebangkitan Kristus adalah simbol bahwa penderitaan dan kematian bukanlah akhir. Bahwa harapan masih mungkin dinyalakan, bahkan dari kubur yang paling gelap sekalipun.Â
Jika Kristus bangkit, maka pendidikan pun bisa bangkit. Guru bisa bangkit. Sekolah bisa bangkit. Dan yang paling penting, anak-anak bisa bangkit---jika kita bersedia menjadi bagian dari kebangkitan itu.
Bangkit berarti tidak lagi tinggal dalam zona nyaman. Tidak cukup bagi kita hanya menjadi penonton. Tidak cukup bagi gereja hanya membuka ibadah dan sekolah minggu.Â
Tidak cukup bagi negara hanya mengganti kurikulum atau membangun gedung. Kebangkitan menuntut gerakan---kesediaan untuk terlibat, untuk hadir, untuk mencintai anak-anak yang tertinggal.