Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Penggiat Budaya | Pekerja Sosial | Fasilitator Pendidikan | Eks Pengawas Pemilu

KOMPASIANA AWARD - 2019: Most Viewed Content lebih dari 400.000 Pageviews - 2021: Nomine Best in Citizen Journalism - 2022: Nomine Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Paskah di Tengah Krisis Literasi Anak Bangsa

20 April 2025   21:27 Diperbarui: 21 April 2025   09:02 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi membaca (Sumber: Kompas.com)

Paskah bukan sekadar momen keagamaan tahunan. Ia adalah pusat dari iman Kristen---peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dari kematian, sebagai penakluk maut dan sumber harapan baru bagi dunia yang rusak. Namun, bagaimana makna kebangkitan itu diterjemahkan ke dalam konteks kita hari ini? Khususnya di Indonesia, negeri yang dikasihi Tuhan, tetapi sedang menghadapi darurat literasi: anak-anak SMP yang belum bisa membaca lancar, sekolah-sekolah yang kehilangan makna, dan sistem pendidikan yang seringkali gagal menjadi terang.

Kita tidak bisa memisahkan kebangkitan dari penderitaan. Sebelum Yesus bangkit, Ia terlebih dahulu mengalami jalan salib---penuh luka, ditinggalkan, dipukul, disalib. 

Inilah gambaran paling jujur tentang realitas: bahwa kebangkitan tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi lahir dari penderitaan yang nyata. Dan bukankah ini juga yang dialami oleh banyak anak-anak di Indonesia? 

Mereka memikul salib kemiskinan, terbatasnya akses, dan kurikulum yang tidak berpihak. Banyak dari mereka bahkan datang ke sekolah hanya untuk dicatat kehadirannya, tetapi pulang tanpa pengertian, tanpa kemampuan membaca, tanpa harapan.

Menurut data dari berbagai survei pendidikan, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal kemampuan literasi dasar. Akhir-akhir ini banyak pemberitaan mengenai sebagian besar siswa SMP tidak bisa membaca. 

Pengalaman saya selain menemukan siswa SMP yang belum bisa membaca, banyak juga yang tidak mampu memahami teks bacaan sederhana. Ini bukan hanya angka---ini adalah wajah anak-anak yang kita temui di sekolah, di desa, bahkan di lorong-lorong kota. Ini adalah wajah dari sistem pendidikan yang telah gagal menghidupkan makna belajar.

Di sinilah Paskah menjadi relevan. Kebangkitan Kristus adalah simbol bahwa penderitaan dan kematian bukanlah akhir. Bahwa harapan masih mungkin dinyalakan, bahkan dari kubur yang paling gelap sekalipun. 

Jika Kristus bangkit, maka pendidikan pun bisa bangkit. Guru bisa bangkit. Sekolah bisa bangkit. Dan yang paling penting, anak-anak bisa bangkit---jika kita bersedia menjadi bagian dari kebangkitan itu.

Bangkit berarti tidak lagi tinggal dalam zona nyaman. Tidak cukup bagi kita hanya menjadi penonton. Tidak cukup bagi gereja hanya membuka ibadah dan sekolah minggu. 

Tidak cukup bagi negara hanya mengganti kurikulum atau membangun gedung. Kebangkitan menuntut gerakan---kesediaan untuk terlibat, untuk hadir, untuk mencintai anak-anak yang tertinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun