Di ujung timur Pulau yang sangat terkenal dan ramai dikunjungi wisatawan, tempat laut bersetubuh dengan langit tanpa batas, berdiri sebuah kampung kecil bernama Tanjung Biru.Â
Kampung ini dulu terkenal dengan ikan-ikannya yang banyak dan gemuk-gemuk, karangnya yang warna-warni, dan nelayannya yang tertawa lantang.Â
Tetapi itu dulu sebelum bom mulai mengoyak dasar laut, sebelum jaring pukat harimau menyeret habis segalanya, dan sebelum orang-orang lupa bahwa laut bukan tempat untuk ditaklukkan, tapi dijaga.
Di tengah kampung itu tinggal Banyu Biru, nama yang aneh bagi sebagian orang, tapi biasa saja bagi warga Tanjung Biru. Ia salah satu nelayan, kulitnya legam dibakar matahari, rambutnya seperti serat kelapa yang dimakan garam.Â
Di kampung, ia dikenal bukan karena kekayaannya, bukan karena ilmunya, tapi karena keras kepalanya. Banyu adalah satu-satunya yang masih melaut dengan jaring tradisional dan satu-satunya yang masih menolak menjual hasil tangkapan ke pengepul yang bermain curang.
Suatu pagi, seperti biasa, ia berdiri di dermaga kayu yang hampir lapuk, menatap laut. Di tangannya ada secarik kertas lusuh berisi coretan-coretan kasar: jadwal pasang surut, titik-titik terumbu yang rusak, dan nama-nama perahu yang ia curigai menggunakan bom.
Di belakangnya, suara tawa terdengar.
"Masih saja main coret-coret, Pak Banyu? Laut bukan buku pelajaran!"
Itu suara Pak Darsi, pemilik empat perahu motor dan orang terkaya di kampung itu hasil dari bisnis ikan yang dicampur cara kotor.
Banyu hanya menoleh sebentar. "Laut bisa baca, Darsi. Ia tahu siapa yang mencintainya, dan siapa yang menusuknya dari belakang."