Lalu lintas memberi banyak cerita. Kisah hidup rakyat kelas bawah yang tergambarkan oleh pahitnya kerja keras. Saat menuju ke lokasi kerja, saya dipaksa berhenti oleh lampu merah di perempatan jalan.
Seorang pengamen datang berdiri memetik gitar. Umurnya masih belasan tahun. Berdiri sejenak berharap belas kasih penghuni mobil, lalu pergi silih berganti memainkan alunan musik berbeda.Â
Berselang beberapa detik, wajah saya tertuju pada seorang ibu ditemani anak. Mereka berdua duduk menikmati segelas air di tengah panasnya cuaca sore hari. Sang ibu memegang kumpulan kacang yang dibungkus untuk kemudian dijual kepada pelintas jalan.
Dalam hitungan menit dua kisah manusia dengan latar belakang berbeda terpampang jelas. Seorang pengamen dengan sebuah gitar tua dan seorang ibu penjual kacang.Â
Tentu kedua insan ini membawa dua cerita tentang kisah hidup masing-masing. Sekilas melihat, saya menerawang kisah pengorbanan seorang ibu bersama anaknya.Â
Mereka tidak memperlihatkan rasa sedih, melainkan canda tawa sambil menikmati segelas air seadanya. Tidak perduli seberapa banyak kacang yang berhasil dijual. Senyum keduanya begitu ikhlas terpatri dari sanubari.Â
Saya tidak menemukan hal yang sama dalam diri seorang pengamen tadi. Rawut mukanya menunjukkan kekesalan sembari memetik gitar beberapa detik, berharap selebaran uang berpindah ke tangannya.Â
Kontras wajah kehidupan begitu jelas terpampang di perempatan jalan. Sulit menerka bagaimana himpitan ekonomi memicu rasa kesal, senang, atau marah pada jalanan.Â
Angka-angka kemiskinan hadir di perempatan jalan. Kisah hidup yang jarang tergambarkan dalam statistik dan penelitian. Kita kadang perlu peka melihat, memahami, dan berempati pada kisah hidup orang-orang kelas bawah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI