“Udara kotor tak lahir dari satu kota. Ia hasil dari diamnya banyak wilayah.”
Pendahuluan: Menghirup Napas Bersama, Menanggung Risiko Bersama
Menghirup Napas Bersama, Menanggung Risiko Bersama
Kabut kelabu yang menyelimuti Monas pada Jumat, 21 Juni 2024, menjadi pengingat bahwa udara bersih kian langka di Jakarta. Dalam laporan Republika.co.id berjudul “Jakarta Minta Daerah Sekitar Awasi Industri Penyumbang Polusi” (16 Juli 2025), Pemprov DKI menegaskan bahwa pengendalian polusi tidak bisa dikerjakan sendiri. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Asep Kuswanto menyebut kiriman polusi dari daerah sekitar—seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Cianjur—ikut memperparah krisis udara ibu kota.
Topik ini relevan dan mendesak untuk dibahas karena kualitas udara kini menjadi isu kesehatan masyarakat yang tak bisa lagi diabaikan. Paparan jangka panjang terhadap partikel polutan seperti PM2.5 terbukti meningkatkan risiko penyakit paru, jantung, bahkan kematian dini. Meski Jakarta telah mengambil berbagai langkah penanggulangan, lemahnya pengawasan emisi industri dan transportasi di daerah penyangga terus menggerus efektivitas upaya tersebut.
Sebagai bagian dari kawasan aglomerasi, kota-kota sekitar Jakarta tidak bisa bersikap pasif. Udara adalah elemen yang melintasi batas administratif, dan karena itu, butuh tata kelola lintas wilayah yang terpadu. Polusi tidak memilih tempat, dan dampaknya tidak mengenal garis batas. Ketika udara menjadi ancaman kolektif, maka solusi pun harus dibangun dalam semangat tanggung jawab bersama.
Polusi adalah Produk Kolektif, Bukan Masalah Lokal
Polusi udara tidak mengenal batas administratif. Angin, suhu, dan tekanan atmosfer membawa partikel berbahaya melintasi kota-kota tanpa paspor atau izin masuk. Dalam konteks ini, pendekatan berbasis wilayah administratif tidak lagi memadai. Meski DKI Jakarta menjadi sorotan utama, penyumbang partikulat (PM2.5) dari kawasan industri di kota-kota penyangga berperan signifikan. Namun, hingga kini, pengawasan lintas wilayah masih sporadis dan cenderung sektoral.
Banyak daerah penyangga masih mengandalkan pendekatan administratif yang terpisah dari sistem pengendalian Jakarta. Hal ini menyebabkan terjadinya "kesenjangan pengendalian", di mana industri bisa “berpindah lokasi” ke luar Jakarta namun tetap mencemari udara yang sama. Tanpa koordinasi kebijakan antarwilayah, upaya DKI Jakarta menekan emisi dari kendaraan dan pabrik hanya akan menjadi tambal sulam.
Kolaborasi lintas batas menjadi imperatif ekologis. Pemerintah daerah tidak bisa hanya memikirkan wilayahnya sendiri. Langkah Jakarta untuk mendorong pengawasan di daerah penyangga patut didukung dengan regulasi bersama, seperti Perpres atau Keputusan Bersama (SKB) lintas kepala daerah aglomerasi Jabodetabekjur.