Sebuah pengalaman dari teman, tentang betapa kecanduannya dia belanja dan menggunakan paylater. Mirip seperti tabungan, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Sama dengan paylater, enggak terasa berapa cicilannya, eh, tahu-tahu sudah habis porsi satu bulan gaji hanya untuk bayar cicilan.
Apalagi zaman sekarang, di mana dunia kita dibanjiri media sosial, dibanjiri oleh berbagai penawaran barang, dan seolah semakin dipermudah lagi dengan adanya paylater. Seolah jadi sebuah solusi atas berbagai keinginan kita yang membara untuk berbelanja lebih rajin.
Nilai transaksi paylater di Indonesia sudah menembus Rp30,36 triliun per November 2024. Mayoritas penggunanya adalah anak muda usia 26–35 tahun, dan sebagian besar menggunakannya untuk hal konsumtif. Artinya, ini bukan lagi soal kebutuhan, tapi soal gaya hidup yang dipoles dengan utang.
Sebuah saran saja bagi Anda-Anda yang baru saja menerima gaji untuk pertama kali, para pekerja muda, jangan gadaikan masa depanmu dengan paylater. Saran ini mungkin terdengar ekstrem, ya. Tapi apa yang saya sarankan ini adalah bentuk kepedulian saya terhadap sesama, dan terlebih lagi, terhadap bangsa dan negara kita.
Lebih Halus
Beda dengan pinjol, paylater datang lebih halus, bak penyelamat tanpa masalah. Kalau pinjol, hampir semua orang sepakat, jangan pernah macam-macam. Taruhannya bisa sampai nyawa, karena ada cerita dikejar-kejar penagih utang yang gak kenal waktu dan empati.
Tapi paylater beda. Ia hadir seperti sahabat yang baik, muncul pelan-pelan di halaman check out saat belanja online. Jadi kelihatannya sih beda kutub dengan pinjol. Padahal, kalau kita telusuri sampai akarnya, mereka berdua berdiri di tanah yang sama, pinjam meminjam, dengan bunga.
Lucunya, kalau soal pinjol banyak yang bilang “jangan”, tapi kalau soal paylater justru banyak yang bilang, “pakai aja, bisa nyicil kok.” Padahal, menurut saya, dua-duanya ya... sama aja.
Akhirnya? Banyak juga yang terjebak dalam lingkaran paylater. Bahkan hanya untuk barang-barang murah. Barang yang sebenarnya bisa dibeli tunai, yang nilainya setara dengan uang jajan anak-anak keluarga menengah ke bawah. Tapi tetap saja, pilihannya jatuh ke paylater.
Pola pikir seperti inilah yang seharusnya kita waspadai. Karena paylater tetaplah bentuk utang. Meski yang kita cicil itu barang belanjaan, tetap saja intinya, kita sedang meminjam. Kita ditalangi dulu oleh penyedia layanan, lalu kita bayar secara mencicil dalam tempo yang ditentukan.