Di jantung tatar Sunda, Jawa Barat, tersemat kekayaan budaya yang luhur, tercermin dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam tradisi pemberian nama dan panggilan kesayangan.Â
Sejak dahulu kala, panggilan "Ujang" bagi anak laki-laki dan "Nyai" bagi anak perempuan bukan sekadar identitas, melainkan juga penanda kasih sayang, keakraban, dan warisan leluhur yang diucapkan dengan penuh kehangatan.Â
Namun, zaman terus bergulir, membawa serta arus modernisasi dan globalisasi yang tak terhindarkan, dan dalam pusarannya, lanskap bahasa pun mengalami transformasi yang signifikan.
Fenomena menarik sekaligus menggelisahkan muncul di tengah masyarakat Sunda modern, terutama di kalangan generasi muda yang akrab disapa "anak zaman now."Â
Panggilan-panggilan tradisional seperti "Ujang" dan "Nyai," yang dulunya begitu melekat dan akrab di telinga, kini terasa semakin asing dan jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari.Â
Sebuah pertanyaan besar pun menyeruak, mengapa panggilan yang sarat akan nilai budaya dan historis ini seolah kehilangan daya tariknya di mata generasi penerus?
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap pergeseran ini adalah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang membawa serta pengaruh budaya luar yang begitu kuat.Â
Media massa, internet, dan interaksi lintas budaya melalui berbagai platform telah membuka jendela dunia yang lebih luas bagi anak-anak muda.Â
Mereka terpapar pada beragam nama dan panggilan dari berbagai belahan dunia, yang seringkali terdengar lebih modern, unik, atau sesuai dengan tren global yang sedang berkembang.
Selain itu, preferensi individual dan keinginan untuk tampil beda juga memainkan peran penting. Generasi muda saat ini cenderung lebih ekspresif dalam menunjukkan identitas diri mereka.Â
Mereka mencari nama dan panggilan yang dianggap lebih personal, mencerminkan karakter atau minat mereka, atau sekadar terdengar lebih kontemporer.Â