Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Kartini

20 April 2025   22:46 Diperbarui: 20 April 2025   22:46 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dengan ChatGPT. Dokpri 

Aku pernah memprotes Ibu dan Bapak yang memberikan nama singkat tapi memancing ledekan teman-teman. Tak hanya saat masih TK atau SD. Sampai kini, saat aku kuliah, namaku menjadi bahan candaan.

Kartini, nama yang disematkan oleh orang tuaku. Lahir tak bersamaan dengan lahirnya Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi wanita Indonesia itu. "Ibumu itu dulu kuliah di jurusan Sejarah, Ndhuk. Inspirasi dari Kartini membuatnya menjadi sosok perempuan yang pantang menyerah."

Lalu dari bibir Bapak, meluncurlah cerita saat Ibu lulus kuliah dan harus bekerja. Eyangku menginginkan Ibu tinggal di kampung halaman, melupakan mimpinya untuk melanjutkan kuliah dan menjadi dosen.

"Tak menjadi dosen, Ibumu tetap ingin mengamalkan ilmunya. Ibumu ingin anak-anak di kampungnya mengenyam pendidikan tinggi. Langkah awal Ibumu adalah menyediakan buku-buku di perpustakaan mini yang digagas dengan keterbatasan ekonominya."

Untunglah Eyang mendukung Ibu. Eyang merelakan salah satu ruangan di rumahnya untuk dijadikan perpustakaan mini. "Yang penting Ibu tetap di kampung halaman. Anak-anak tetangga yang keluar masuk perpustakaan dan gaduh di rumah Eyang tak menjadi masalah," ucap Ibu yang membawa rebusan ubi kayu yang masih mengeluarkan kepulangan asap.

Cerita itu terbayang lagi di kepalaku. Dulu, Ibu menggerakkan literasi di kampung, begitu menikah dan melahirkanku, oleh Bapak, aku diberi nama Kartini. "Karena bagi Bapak, Ibumu adalah Kartini masa kini," puji Bapak. Pujian itu membuat wajah ibu merona.

"Tin, kamu siapkan esai tentang Kartini, ya!" Permintaan bernada perintah itu memaksaku berkutat dengan buku-buku yang kubawa dari perpustakaan Ibu. Teman-teman menunjukku sebagai perwakilan lomba esai dalam rangka Hari Kartini. Padahal aku tak begitu paham dengan sejarah Kartini. Kuliah saja di Tata Busana.

Akhirnya, kuputuskan untuk menulis tentang Ibu yang terinspirasi Raden Ajeng Kartini selama ini. Pemikiran beliau kukaitkan dengan pengalaman Ibu, dari cerita Bapak karena Ibu tak pernah mau menceritakan perjuangannya, yang harus mengalah dan menjadi guru Sekolah Dasar. Tak peduli dengan hasil tulisanku. Aku sadar kalau tulisanku akan kalah jauh dengan tulisan mahasiswa Sejarah, baik program keguruan atau Sejarah murni.

Aku Kartini, anak keturunan seorang perempuan yang memiliki mimpi di mana mimpi itu harus terputus oleh pengabdian kepada orangtuanya, yaitu eyangku. Aku bangga menulis dan menceritakan kehebatan ibuku, di antara ribuan atau jutaan perempuan luar biasa di luar sana.

Dari ibukulah, aku belajar hingga kini. Belajar tentang kelembutan hati, dan perjuangan tanpa harus berorasi tetapi memiliki arti bagi anak-anak negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun