Di dekat jendela pesawat, saya duduk terpaku. Di luar, fajar perlahan merekah, mewarnai langit dengan semburat oranye dan merah muda. Awan menggumpal seperti kapas, seolah menjadi jembatan menuju destinasi impian.
Perjalanan ini bukan sekadar berpindah tempat, tetapi sebuah pencarian makna. Ibn Battuta pernah berkata, “Bepergian membuatmu terdiam tak bisa berkata-kata, lalu mengubahmu menjadi seorang pencerita” (Goodreads, n.d.). Kata-kata itu kini terasa begitu nyata.
Saya sedang menuju Jeddah, gerbang menuju dua kota suci, Mekah dan Madinah, tempat yang didambakan setiap Muslim. Penerbangan dengan Qatar Airways membawa saya melintasi benua dengan nyaman. Maskapai ini dikenal dengan layanan kelas dunianya, membuat perjalanan panjang terasa lebih ringan. Dari Doha, saya bersiap untuk melanjutkan penerbangan menuju Jeddah. Langit Timur Tengah terbentang luas di bawah pesawat.
Perjalanan spiritual ini semakin dekat. Jeddah telah lama menjadi pintu masuk para peziarah yang hendak menunaikan ibadah haji dan umrah. Sejak berabad-abad lalu, kota ini menyambut kedatangan mereka dengan hiruk-pikuk pasar dan aroma rempah. Debur ombak Laut Merah ikut menjadi saksi perjalanan para musafir (Peters, 1994). Namun, bagi saya, Jeddah hanyalah transit. Hati ini sudah tertambat pada tanah haram, tempat jejak Rasulullah SAW masih terasa dalam setiap sudutnya.
Saat memasuki Kota Mekah, dada saya terasa sesak oleh haru. Inilah tanah yang dijanjikan, tempat Ka’bah berdiri tegak, menyatukan jutaan manusia dalam satu kiblat. Setiap langkah di kota ini adalah perjalanan menuju Allah.
Di Masjidil Haram, saya merasakan betapa kecilnya diri ini di hadapan kebesaran-Nya. Di antara lautan manusia yang thawaf, ada doa-doa yang lirih terucap, ada air mata yang jatuh tanpa diminta. Semua terasa begitu syahdu. Rasulullah SAW bersabda, “Tiga doa yang mustajab tanpa diragukan: doa orang yang terzalimi, doa musafir, dan doa orang tua untuk anaknya” (Sunnah.com, n.d.). Saya memanjatkan doa yang tak terhitung jumlahnya, berharap langit terbuka.
Madinah menyambut dengan ketenangan yang berbeda. Jika Mekah adalah pusat energi spiritual yang menggelegar, Madinah adalah pelukan hangat yang menenangkan. Kota ini menjadi saksi perjalanan hidup Rasulullah SAW, dari perjuangan awal dakwah hingga wafatnya.
Di Masjid Nabawi, setiap sujud terasa lebih dalam, lebih bermakna. Ada keinginan untuk menetap lebih lama, berlama-lama menikmati keteduhan Raudhah, tempat yang disebut sebagai taman surga. Perjalanan ini memberikan kedamaian batin yang luar biasa.
Perjalanan ini tidak berhenti di dua kota suci. Timur Tengah masih menyimpan jejak para nabi yang lain. Di Palestina, Masjid Al-Aqsa berdiri teguh, menjadi saksi perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW. Sejarah terus mengalir. Di Mesir, Sungai Nil mengalir melewati tanah yang pernah diinjak Nabi Musa a.s. Sementara itu, Yordania menyimpan gua Ashabul Kahfi, tempat para pemuda beriman tertidur selama berabad-abad. Setiap tempat memiliki kisahnya sendiri.
Masing-masing kisah menyambungkan masa lalu dengan masa kini. Ramadan di Timur Tengah memiliki nuansa yang berbeda. Langit yang lebih bersih, angin gurun yang berembus lembut, dan masyarakat yang begitu antusias menyambut bulan suci dengan penuh kekhusyukan.