Satu lagi novel berbahasa Jawa hadir di tengah masyarakat sastra Yogyakarta. Sanip, begitulah judul novel setebal 232 halaman yang dipilih Bey Saptomo, menceritakan kisah hidup juragan jathilan, Sanip, yang tidak menyangka bahwa Resep, istrinya, merupakan bagian telik sandi (mata-mata kerajaan) Puro Pakualaman.
Di balik proses penciptaan novel Sanip (Buana Grafika, 2025) memperlihatkan pandangan Bey Saptomo bahwa karya sastra bukan sekadar imajinasi atau khayalan pengarang belaka.Â
Karya sastra berisi fakta kehidupan. Batas antara fakta dan fiksi begitu tipis. Setidaknya hal itu ditunjukan dengan pemuatan referensi di halaman akhir novel Sanip.Â
Langkah tersebut diambil, disadari atau tidak oleh penulisnya, berguna untuk meningkatkan akurasi dalam menggambarkan latar cerita, penokohan, dan peristiwa dalam karya sastra.
Tentu saja strategi ini sekaligus mempertinggi kredibilitas karya sastra karena sebelum menciptakan karya (novel), penulis terlebih dahulu melakukan riset, memiliki pengetahuan mendalam tentang topik yang dibahas.
Tidak mengherankan jika kemudian Bey Saptomo mencantumkan referensi di bagian akhir novelnya: Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 (MC. Ricklefs, 2002), Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 (Vincent Houben, 2002), dan lainnya.
Bagaimana sesungguhnya proses kreatif penciptaan novel Sanip?
Ada dua hal penting yang digali saat menulis Sanip. Pertama, setting kisah dengan latar belakang leluhur, Eyang Buyut, berprofesi sebagai juragan batik. Mau tidak mau, saya harus intens mengumpulkan data berbagai hal tentang batik zaman itu. Juga data mengenai trah keluarga Eyang Buyut.
Kedua, latar belakang perjuangan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh. Bagaimana Ngarsa Dalem membuat Kompeni dan Pemerintahan Hindia Belanda kelabakan.
Mengapa menampilkan Sanip?
Sengaja saya menampilkan tokoh Sanip yang dalam cerita dikenal sebagai juragan jathilan, tetapi diam-diam ia juga berprofesi sebagai telik sandi.