Di antara sekian banyak memoar yang lahir dalam dua dekade terakhir, Educated karya Tara Westover menempati tempat istimewa. Bukan hanya karena kisah hidupnya yang luar biasa, tapi juga karena cara Tara menuturkan luka, ketahanan, dan pembebasan diri dengan bahasa yang begitu jujur dan menggugah. Buku ini bukan sekadar kisah perjalanan dari keterkungkungan menuju kebebasan intelektual, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana keluarga, pendidikan, dan pengalaman pribadi membentuk siapa diri kita.
Keluarga: Fondasi yang Bisa Membangun atau Menghancurkan
Pelajaran pertama yang sangat membekas dari Educated adalah betapa besarnya pengaruh keluarga dalam membentuk identitas dan pandangan hidup seorang anak. Tara tumbuh dalam keluarga Mormon fundamentalis di Idaho, tanpa akses pada pendidikan formal dan sistem kesehatan yang layak. Ayahnya, seorang survivalist yang fanatik, percaya bahwa sekolah adalah sarang propaganda pemerintah dan bahwa dunia luar adalah ancaman.
Di balik nuansa cinta keluarga yang kadang ditunjukkan secara halus, pembaca diajak menyaksikan bentuk kontrol dan manipulasi yang menyamar sebagai perlindungan. Tara memperlihatkan bagaimana cinta keluarga bisa menjadi belenggu ketika tidak disertai ruang untuk tumbuh dan berpikir bebas.
Langkah Pertama: Terseok, Tapi Tak Berhenti
Meninggalkan rumah bukan keputusan mudah bagi Tara. Tanpa akta kelahiran, tanpa ijazah, dan hampir tanpa kepercayaan diri, Tara mengambil langkah awal dengan belajar mandiri untuk masuk universitas. Awalnya ia terseok, tertinggal dalam pelajaran, bahkan tidak tahu apa itu Holocaust saat pertama kali kuliah. Tapi di situlah kekuatan cerita ini terasa nyata: bahwa keberanian untuk memulai, meski tampak mustahil, adalah langkah penting menuju perubahan.
Ketekunan Tara, dipadukan dengan dorongan ingin tahu yang membara, akhirnya membawanya sampai ke Cambridge dan Harvard. Bukan karena ia "lebih pintar" dari orang lain, tapi karena ia tak berhenti mencoba, bahkan ketika semuanya terasa gelap.
Masa Lalu Tidak Harus Menentukan Masa Depan
Tara tidak pernah menyuguhkan masa lalunya sebagai sesuatu yang heroik atau tragis secara berlebihan. Ia jujur tentang rasa malu, luka, dan kebingungan yang ia alami. Namun justru dalam kejujuran itu, kita menemukan pelajaran penting: bahwa pengalaman buruk bisa menjadi pondasi bagi ketahanan.
Saat menghadapi tekanan mental dan krisis identitas, Tara menunjukkan bahwa masa lalu memang menyakitkan, tapi bukan akhir segalanya. Ia belajar menyaring mana bagian dari dirinya yang harus dilepaskan, dan mana yang bisa dijadikan kekuatan untuk melangkah maju.