"Ini Ronald susah betul makannya. Pulang gak mau makan masakanku. Maunya beli tahu tek tiap malam. Atau buat mi instan. Papanya juga susah makannya. Cerewet.Â
"Dia gak suka makan ikan. Pulang kerja bilangnya sudah makan di luar. Kok aku merasa tidak dihargai.Â
"Akibatnya, sayur dibuang. Lauk dibuang. Nasi dibuang atau kadang dibuat jadi nasi goreng besok paginya, tapi juga lebih banyaknya tidak habis, jadi dibuang juga. Sayang banget. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak mungkin habisin semua. Sekarang aku masak secukupnya aja. Supaya gak terbuang percuma.
"Papanya juga sering beli kue atau camilan yang disimpan di kulkas, tapi pada akhirnya dibuang juga, karena lama kue-kue itu tidak dimakan. Sudah gak bagus untuk dimakan. Terpaksa dibuang."
Keluhan Lina (nama samaran), kakak perempuan saya tentang anak semata wayangnya, Ronald (bukan nama sebenarnya) dan suaminya, Djoni (nama samaran) sepertinya merupakan gambaran kebanyakan keluarga di zaman sekarang ini. Kesibukan dalam keseharian ditambah dengan mudahnya memesan makanan secara daring, plus variasi makanan yang berlimpah di era masa kini, membuat anggota keluarga menjadi "manja" dengan "rasa".
Seperti misalnya, banyaknya makanan cepat saji (fast food) yang mewarnai tren kekinian membuat pola pikir kebanyakan generasi zaman now menganggap proses cepat dalam mengolah makanan menjadi jawaban bagi mereka demi mendapatkan makanan siap santap sesegera mungkin.
Ditambah lagi dengan maraknya minuman berpemanis seakan kalau tidak meminumnya berarti tidak mengikuti era modern. Padahal penyakit kencing manis atau diabetes mengintai jika sering mengonsumsi gula secara berlebihan.Â
Biarlah ahli gizi atau dokter yang berbicara lebih lanjut tentang pentingnya mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung unsur "empat sehat, lima sempurna". Saya hanya akan memfokuskan diri pada harga sebutir nasi di mata saya selaku mantan anak kos.
Berapa sih harga sebutir nasi? Yah, tidak perlu repot-repot untuk menghitung berapa harga sebutir nasi, karena memang esensi saya menulis artikel ini bukan tentang menghitung berapa rupiah yang dibutuhkan untuk membeli sebutir nasi, tapi "harga" sebutir nasi, manfaat dari makanan, yang dalam hal ini diwakili oleh sebutir nasi, yang sudah melalui proses memasak yang lama, mengandung gizi yang lengkap untuk manusia, tapi akhirnya tersia-sia di tempat sampah, karena tak ada yang memakannya.Â
Saya jadi teringat dengan masa-masa susah saat saya masih berstatus murid SMA. Meskipun di atas meja cuma ada sayur bening, tempe, dan tahu saja, kami sekeluarga sudah bersyukur. Mereka sudah termasuk makanan "mewah" bagi kami sekeluarga, yang saat itu terdiri dari ayah; ibu; kedua kakak laki-laki saya, Yadi dan Doni (keduanya bukan nama sebenarnya); dan saya.Â
Ayah sudah tidak bekerja. Bisnisnya pailit dan ayah sudah sakit-sakitan, karena terkena diabetes dan stroke. Ibu berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Yadi dan Doni bekerja pada orang lain, tapi pendapatan mereka tidak cukup untuk kebutuhan hidup kami sekeluarga.