Tak bisa dipungkiri, dunia pendidikan Indonesia seolah tak pernah lepas dari dinamika perubahan kurikulum. Setiap kali tongkat estafet kepemimpinan di Kementerian Pendidikan berpindah tangan, hampir dapat dipastikan akan lahir istilah baru yang menggantikan kurikulum sebelumnya. Seolah menjadi tradisi, kurikulum lama ditanggalkan, dan kurikulum baru diusung dengan jargon segar yang menjanjikan perubahan.
Kurikulum Merdeka, yang digagas sebagai respons terhadap kebutuhan pembelajaran yang lebih fleksibel dan berpusat pada peserta didik, kini mulai bergeser ke arah yang disebut sebagai Kurikulum Berdampak. Pergeseran ini bukan sekadar perubahan istilah, melainkan juga perubahan paradigma yang diharapkan mampu menjawab tantangan pendidikan masa kini. Namun, pertanyaannya: apakah perubahan ini benar-benar berdampak atau justru menambah kebingungan?
Tradisi Ganti Kurikulum: Antara Inovasi dan Ketidakpastian
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap menteri pendidikan membawa visi dan misi yang berbeda. Alih-alih memperkuat pondasi sistem yang telah berjalan, sering kali kurikulum lama dirombak total. Padahal, sistem pendidikan bukanlah laboratorium eksperimen yang bisa diubah sesuka hati. Perubahan yang terlalu cepat dan tidak konsisten justru menimbulkan kegamangan di kalangan guru/dosen, pelajar, mahasiswa, bahkan orang tua.
Guru dan Dosen sebagai garda terdepan pendidikan sering kali menjadi korban dari kebijakan yang berubah-ubah. Mereka dituntut untuk terus beradaptasi, mengikuti pelatihan, dan mengubah metode pembelajaran sesuai kurikulum baru. Sementara itu, siswa menjadi objek yang harus menerima dampak langsung dari perubahan tersebut, tanpa memiliki ruang untuk memahami secara utuh sistem yang sedang berjalan.
Kurikulum Berdampak: Harapan Baru atau Sekadar Rebranding?
Istilah "berdampak" tentu membawa harapan besar. Kurikulum ini digadang-gadang mampu memberikan hasil nyata dalam pembelajaran, bukan sekadar proses. Namun, tanpa evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Kurikulum Merdeka, perubahan ini berisiko menjadi rebranding semata. Dampak yang diharapkan bisa saja hanya menjadi slogan jika tidak disertai dengan strategi yang matang dan dukungan sistemik.
Yang dibutuhkan bukanlah kurikulum baru setiap periode, melainkan penyempurnaan kurikulum yang sudah ada. Perubahan seharusnya berbasis pada data, evaluasi, dan kebutuhan nyata di lapangan. Konsistensi dan keberlanjutan jauh lebih penting daripada sekadar inovasi yang belum teruji.
Penutup: Pendidikan Butuh Stabilitas
Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Ia membutuhkan stabilitas, konsistensi, dan keberlanjutan. Kurikulum yang baik bukanlah kurikulum yang sering berganti, melainkan kurikulum yang mampu beradaptasi tanpa kehilangan arah. Jika perubahan kurikulum terus dilakukan tanpa evaluasi mendalam, maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan stagnasi yang dibungkus dengan istilah baru.