"Nak, pulang ya," demikian ucap Mama kepadaku beberapa hari lalu. -"Kita nikmati sahur dan jalani ramadan bersama-sama," pintanya.
Ada rasa haru usai Mama menelponku malam itu, percakapan singkat itu melepas derai air mata yang tak terasa merembes hingga pipi. Azzam sangat senang sebab akan punya banyak waktu menikmati nuansa ramadan bersama keluarga di rumah. Namun, di satu sisi ia merasa sedih, karena kepulangannya kali ini membawa duka lara, sebab sudah empat bulan ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempat ia bekerja dan hingga kini belum menemukan pekerjaan lain. Bukan ia tidak berusaha, hampir semua lowongan kerja yang ia peloreh telah ia sodorkan berkas pendaftaran, namun semua nihil, hingga kini belum ada satu pun perusahaan yang memanggilnya.
Usai sholat jum'at, Azzam memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Sejak dua hari lalu ia sudah mengemas semua pakaian dan perabotan miliknya. Ada yang ia hibahkan ke tetangga kostan dan kerabat, ada pula yang ia ubah menjadi uang untuk menambah bekal pulang. Keinginannya untuk merajut impian di negeri orang harus ia kubur dalam-dalam, ia juga nggak bisa terus-menerus bertahan tanpa adanya pemasukan, yang ada semua tabungan akan habis terkuras. Mungkin bukan sekarang waktu yang tepat, atau mungkin bukan di sana tempat yang Allah pilih sebagai jalan menuju kesuksesan.
"Selamat tinggal kota impian yang sempat aku gantungkan cita-cita dan harapan di pundak, kalau memang berjodoh kita akan kembali dipertemukan, meski tak tahu kapan. Namun, jika tidak, aku harap kau abadi sebagai kenangan persinggahan," gumam Azzam melepas jejak setapak demi setapak meninggalkan Kota Hujan.
Selama perjalanan menuju kampung halaman ia rahasiakan kepulangannya dari semua orang, meski lima hari lalu Mama sempat bercengkrama dengannya. Azzam berharap bisa kasih kejutan untuk keluarga di rumah.
Perjalanan ia tempuh dengan jalur darat, dari menumpangi bus hingga kapal laut ia jalani. Malam yang sunyi disertai awan hitam menyelimuti penjuru nabastala, serta nuansa dingin khas laut memberi ketenangan. Di bawah temaram sinar rembulan yang malu-malu untuk menyembulkan sinarnya, Azzam khusyuk memanjatkan doa-doa. Deru ombak turut mengamini permohonan anak yang tengah melakukan safar itu.
Bertepatan dengan sepuluh ramadan, setelah mengarungi samudra dan melintasi pulau kurang lebih dua belas jam perjalanan, akhirnya Azzam tiba di kampung halaman. Keluarga sempat dibuat kaget karena tiba-tiba mendapat telepon darinya bahwa ia sudah tiba di pemberhentian bus - minta dijemput. Untungnya malam itu orang rumah tidak terlelap dalam dekapan mimpi, jika tidak jadilah ia penunggu halte hingga waktu sahur tiba.
- - - * * * - - -
"Nak, bangun, mari sahur,"Â ujar Mama membangunkan Azzam.
Azzam terbangun usai terlelap beberapa jam - merebahkan tubuh yang lelah usai dijajah habis oleh perjalanan. Punggungnya merah penuh lukisan bekas kerokan, angin malam khas laut dan pendingin mobil membuat pertahanannya terkoyak. Ia menyantap sahur dengan tidak semangat.