Di tengah gemerlapnya kehidupan perkotaan, Medan kini dihadapkan pada persoalan yang tak bisa dianggap remeh: meningkatnya keterlibatan anak muda dalam aksi kriminal.Â
Mulai dari pencurian, geng motor, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga kasus perampokan bersenjata, pelakunya kini semakin banyak berasal dari kalangan remaja dan usia produktif. Ini bukan hanya soal tindakan hukum, tetapi juga cerminan krisis sosial dan pendidikan yang mendalam.
Data dari Polrestabes Medan mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir, kasus kriminal yang melibatkan anak muda terus meningkat. Bahkan, dalam beberapa laporan, pelaku kejahatan berusia di bawah 25 tahun mendominasi hampir 40% dari kasus yang ditangani, terutama dalam kasus pencurian, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan jalanan. Beberapa di antaranya bahkan masih berstatus pelajar atau mahasiswa.
Pertanyaannya mengapa anak muda yang seharusnya menjadi harapan masa depan justru terjebak dalam lingkaran kriminal? Apakah ini karena pengaruh pergaulan yang salah, tekanan ekonomi, minimnya kontrol orang tua, atau karena kegagalan sistem pendidikan dalam membentuk karakter?
Banyak pihak menyebut bahwa faktor lingkungan sangat menentukan. Lingkungan sosial yang keras, teman-teman sebaya yang terlibat narkoba atau geng motor, hingga media sosial yang mempromosikan gaya hidup instan tanpa kerja keras, menjadi pemicu kuat.Â
Anak muda yang rapuh secara mental dan kurang mendapatkan pendampingan mudah terbawa arus negatif. Sayangnya, banyak orang tua yang sibuk bekerja, tidak menyadari perubahan sikap anak mereka hingga semuanya terlambat.
Namun, tidak adil jika semua kesalahan hanya dibebankan pada lingkungan. Pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah, memegang peran penting. Banyak anak muda bertumbuh tanpa didikan moral dan kontrol emosional yang cukup.Â
Sekolah yang hanya fokus pada akademik tanpa menanamkan nilai-nilai kehidupan, serta keluarga yang lebih sibuk mencari uang daripada mendidik anak, menciptakan ruang kosong dalam jiwa remaja yang kemudian diisi oleh pengaruh buruk dari luar.
Lalu, apa solusinya? Kita perlu mengubah pendekatan. Pendidikan karakter harus dihidupkan kembali, tidak hanya dalam bentuk teori tetapi praktik nyata. Keluarga harus menjadi ruang pertama dan utama untuk mendidik, bukan sekadar tempat tinggal.Â
Orang tua perlu hadir secara emosional, bukan hanya finansial. Di sisi lain, pemerintah dan lembaga sosial harus menyediakan ruang-ruang positif untuk anak muda berekspresi dan berkembang baik dalam seni, olahraga, maupun teknologi.