Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekacauan Lalu Lintas Bukan Salah Pengendara

4 November 2022   04:08 Diperbarui: 24 November 2022   15:11 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok. pribadi)
(Dok. pribadi)
(Dok. pribadi)
(Dok. pribadi)

Dengan diterapkannya prinsip itu, maka tidak ada praktik serobot-menyerobot, klakson-mengklakson, apalagi senggol-senggolan. Orang takut memberi jalan pada pengendara dari jalur lain karena khawatir alirannya tidak putus. Padahal seharusnya tidak perlu takut memberi jalan karena setelah satu kendaraan lewat, giliran selanjutnya adalah saya. Adil, bukan?

Rambu dan marka

Kita mungkin sering mendengar atau melihat kecelakaan di persimpangan yang tidak dilengkapi dengan lampu lalu lintas. Apakah karena ketiadaan lampu lalu lintas maka kendaraan dari semua arah bisa melintas sesuka hati? Tidak. Harusnya ada jalur yang diprioritaskan dan jalur yang lain harus mengalah.

Dari mana pengendara tahu mana jalur yang harus mengalah? Dari marka jalan yang ditandai dengan garis putih melintang tidak terputus. Sebaliknya, jalur yang tidak ditutup garis boleh melaju tanpa harus berhenti. Biasanya jalur yang harus mengalah adalah jalan yang lebih kecil.

Ketidaktahuan pengendara akan arti rambu dan marka bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama karena tidak pernah belajar aturan lalu lintas, kedua karena rambu atau markanya memang tidak ada. 

Banyak persimpangan yang tidak dilengkapi lampu lalu lintas, pun tidak dilengkapi marka garis di aspal. Tak sedikit pula garis tidak terputus justru dipasang di jalan yang lebih besar. Masa iya, jalur jalanan yang lebih besar mendahulukan jalanan yang kecil?

Sanksi dan tindakan preventif

Kita kembali ke dua hal penyebab kekacauan lalu lintas, yakni kesengajaan dan ketidaktahuan. Kesengajaan wajib diberi sanksi, sebagaimana yang sudah diatur di undang-undang dan peraturan lalu lintas. Kenapa masih banyak yang melanggar? Masalahnya juga ada dua: inkonsistensi pemberian sanksi dan atau sanksinya yang tidak membuat jera.

Konsistensi sanksi tidak bisa hanya mengandalkan manusia tetapi harus dibantu perangkat elektronik. Manusia punya keterbatasan waktu dan perhatian sementara perangkat elektronik lebih konsisten. Sanksi yang ringan tidak membuat jera, sebaliknya, sanksi berat akan berfungsi menjadi pencegahan (preventif) di kemudian hari.

Saya punya pengalaman tidak enak saat baru tinggal di Wellington, Selandia Baru. Dijatuhi denda akibat melewati batas kecepatan. Pada jalanan yang diberi aturan kecepatan maksimum 80 km/jam, saya ternyata memacu mobil hingga 96 km/jam. Dendanya lumayan, sekitar 1,2 juta rupiah. Itulah kali pertama dan terakhir saya overspeeding di Selandia Baru. Penjelasannya sederhana: kapok alias jera.

Tidak ada polisi yang memberhentikan saya saat melakukan pelanggaran itu. Surat denda pun baru saya terima dua minggu kemudian dimana saya sesungguhnya tidak sadar telah melakukan pelanggaran tersebut. Tetapi perangkat elektronik konsisten mengawasi dan SDM di kepolisian konsisten menindaklanjuti pelanggaran yang "dilaporkan" oleh perangkat.

Jika hari ini saya tidak dihukum, meski kemarin saya dihukum, maka ada harapan bagi saya bahwa besok saya bisa lolos dari hukuman. Efek psikologi yang sama terjadi jika ada seorang dihukum dan yang lain tidak, meski melakukan pelanggaran yang sama.

Pendataan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun